Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Peran SBY bagi "Koalisi Oleng" 02

13 Mei 2019   08:39 Diperbarui: 13 Mei 2019   08:45 1871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Peran SBY bagi Koalisi Oleng 02

SBY adalah presiden dua periode. Sepuluh tahun presiden pilihan demokratis. Dua masa jabatan yang bisa diselesaikan dengan relatif aman. Kini, usai lima tahun di luar pemerintahan, SBY memiliki PR cukup pelik dan besar. Dukungan dan dorongan untuk keluar koalisi yang kalah cukup masif.

Gagasan mendukung pemenang juga cukup kuat. Berkaca pada pemilihan dukungan menjelang pilpres periode ini, Demokrat terkesan galau, gamang, dan detik terakhir menyatakan merapat ke koalisi Prabowo. Cukup beralasan dengan kisah masa lalu Mega-SBY. 

Konon 62% kader Demokrat pengin bersama dengan koalisi Prabowo, dan berujung pada pembebasan dukungan pilpres pada siapapun bagi kader Demokrat secara resmi. Memang administratif ke kubu 02 kini.

Usai pelaksanaan pemilu dan menunggu pengumuman hasil secara resmi, riak dan intrik muncul dengan luar biasa liarnya. Jadi ingat masa kecil ketika banyak perbincangan jika ada orang tenggelam itu perlu dipingsankan dulu jika mau menyelamatkan. Hal yang terus terbawa hingga kini, mengapa? Ternyata biar tidak membahayakan penyelamat.

Orang yang panik itu sudah tidak nalar, tidak berpikir dengan baik, dan hanya mengandalkan instingtif, ranah hewan, bukan manusia karena tanpa pertimbangan. Pada sisi lain, penolong atau penyelamat masih dengan kewarasan normal, dan malah bisa ikut bahaya.

Kondisi 02 kini sedang oleng, ada dua kubu besar yang saling serang, saling sikut, dan saling tendang di dalam mempertahankan pendapatnya. Satu merasa menang dan mau memaksakan kehendak dengan berbagai jalan dan menempuh jalan demokrasi jalanan. Pada posisi lain menunggu hasil resmi, namun dengan trik dan intrik macam-macam yang membuat mules kubu sisi sebelah.

Perselisihan yang berujung tidak sehat bagi keberadaan koalisi dan bangsa secara umum. Lihat saja para elit saling serang dan sindir seolah paling benar, padahal sama-sama sesat dan kadang bejat barang.

Prabowo yang entah mengapa dan kenapa, masih saja bersikukuh menang dan tidak mau tahu dengan realitas yang ada. Memang indikasi bahwa ada setan gundul, dan pembisik yang mengharuskan menang, ada pula yang menekan KPU harus menyatakan menang, dan banyak gagasan, ide, masukan, bahwa Prabowo menang, namun dicurangi oleh rivalnya.

Puyuono vs Demokrat

Salah satu elit Gerindra panas dan mengusir Demokrat dari koalisi. Melihat apa yang dilakukan AHY dan elit Demokrat membuatnya geram. Apalagi ditambah pernyataan yang memang sangat melemahkan semangat koalisi yang masih mengupayakan kemenangan. Usai PP sepi, masih saja terus diusahakan, akan makin sepi karena memang amunisinya tidak cukup. Ditunjang logistik yang makin lemah, jadi upaya menegakan benang basah semata.

Apa yang dinyatakan Puyuono jelas bentuk kegeraman banyak pihak juga, karena posisi kritis malah membuat ulah dan manufer yang membuat jengkel. Sama juga pusing mikir utang jatuh tempo eh si istri merengek dibelikan kreditan panci baru yang dipromosikan. Siapa gak ngamuk?

Andi Arief vs koalisi

Andi Arief sebagai pengganti Ruhut memang belum sepadan. Mulut Ruhut itu nylekit tetapi dibungkus dengan lelucon, AA ini malah membuat gerah dan panas suasana.  Tudingan setan gundul ini malah berbalas ke mana-mana. PKS ikut menyatakan bahwa data 63% ternyata dari pihak Demokrat. Yang dibantah itu adalah prosentase kader mereka yang ingin bersama Prabowo.

Jauh sebelum itu tudingan bahwa Sandi memainkan kardus dan menuding SBY jenderal kardus. Perselisihan yang tanpa upaya penyelesaian, hingga usai pemilihan, potensi hilang dari kebersamaan sangat besar.

Ferdinand vs koalisi

Ferdinan ini memang politikus entah barantah, yang tiba-tiba tenar dengan gaya ugal-ugalannya. Mudah memang membangun citra dengan dunia medsos kontroversial, prestasi sih memang belum terdengar. Entah SBY tidak juga mendepak, minimal menghentikan polah aneh dan ugal-ugalan partai santun ini.

Menyatakan Demokrat bebas usai Prabowo kalah, jelas ungkapan kurang ajar yang kelewatan di dalam kebersamaan. Sah-sah saja memang dalam politik, namun tentu tidak dalam konteks sevulgar itu pula. Masih berlu belajar diplomatis dalam berpolitik.

Kivlan Zen vs SBY

Ini masalah pribadi, sakit hati, dan tidak tahu diri. Namun ketika menyatakan ini dan itu, padahal militer tetap saja meskipun senior, bintang menentukan. Apalagi menyatakan pada presiden. Sangat tidak elok. Pengulangan apa yang dikatakan Agum Gumelar sejatinya, namun tentu beda kelas, konteks, dan politis, jadi tidak separah apa yang dinyatakan AG.

Namun satu yang jelas dan pasti bahwa itu menunjukkan soliditas koalisi yang memang sejak awal rapuh dan ringkih, apalagi banyak pribadinya yang tidak taat azas dan kebersamaan. Unggah-ungguh dan sopan santun dalam politik yang diabaikan. Pada siapa bersikap dan berpendapat itu juga penting kog. Jangan lupakan ranah kepantasan dan etika juga.

Kini, banyak sas sus yang mengatakan SBY enggan ada militer yang bisa menjadi presiden, sangat mungkin juga. Kebanggaan pribadi karena sekian angkatan atau bahkan sepanjang sejarah AMN-AKABRI-AAD, satu-satunya yang menjadi presiden. Hal lumrah ada dugaan demikian.

Beberapa hal yang cukup "meriah" itu bisa menjadi medan dan momentum SBY bersama Demokrat untuk memilih menjadi negarawan atau berhenti pada tataran politikus haus kuasa. Menjadi pimpinan untuk menyatukan koalisi ini menjadi solid. Memang tidak  akan mudah mengatasi kengototan Prabowo, namun seharusnya bisa.

Demokrat menjadikan koalisi ini, kebersamaan yang cukup mantab demi 2024. Investasi baik dan panjang, di mana di luar pemerintahan pun masih bisa berbuat banyak kog. Ingat PDI-P bagaimana mereka relatif paling stabil perolehan kursinya. Naik turunnya itu fluktualif yang masih sangat wajar. Termasuk ketika di luar pemerintahan mereka tetap saja tidak habis.

Saatnya SBY mengambil alih kemudi koalisi yang lebih baik, pendekatan pada masing-masing pihak yang masih rasional untuk bisa bekerja sama. Ingat demi bangsa dan negara, jangan hanya berkutat pada partai sendiri dulu. Sangat mungkin kog bisa terjadi, bahkan Gerindra dan Prabowo bisa diajak kerja sama. Ingat Prabowo pernah juga mengatakan di belakang Jokowi dalam banyak isu krusial. Artinya bisa asal pendekatan pada Prabowo pas dan tepat.

Keberanian membersihkan anasir-anasir yang menghambat tumbuh kembang bangsa ke depan. Siapa itu? SBY sebagai militer, dua periode presiden tentu paham siapa mereka. Membangun koalisi baru yang sehat, waras, dan solid menjadi penting.

Hilangkan pola pokoke, di mana sepanjang lima tahun itu mengawasi pemerintah, bukan hanya mengincar jatuhnya presiden saja. Periodisasi jelas kog, selama itu bangun citra sebagai partai dan koalisi cerdas, bukan hanya waton sulaya. Ini sangat mungkin dan sangat potensial kog.

Demokrat yang cenderung merosot terus bukan membangun citra dengan model asal berbeda dan malah cenderung kasar itu. Saatnya mengubah keadaan dan memimpin koalisi agar makin baik untuk pemilu mendatang.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun