Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Menanti Keruntuhan Dinasti Cikeas

5 Mei 2019   08:38 Diperbarui: 5 Mei 2019   08:47 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Menanti Keruntuhan Dinasti Cikeas

Hitung cepat memberikan hasil kisaran suara Demokrat lagi-lagi melorot. Beberapa hal layak dilihat lebih dalam mengapa hal itu bisa terjadi. Salah satu yang paling gamblang dan terbuka jelas mengenai partai politik pribadi dan kaderisasi anak klan Yudoyono yang sangat berlebihan, dan mirisnya gagal tampil sebagaimana ekspektasi.

Sejak awal berdiri partai satu ini memang tidak cukup meyakinan dalam banyak hal, motivasi jelas hanya tunggangan untuk pencapresan pendiri dan akhirnya pemilik tunggal itu. 

ideologi pun lagi-lagi gamang dengan nasionalis-religius, yang mau nasionali takut yang religius, dan mau religius toh gak laku-laku. Titik tengah yang sangat tidak menguntungkan untuk jangka panjang.

Titik terendah lagi, usai pernah jawara dan mengantar kursi presiden periode dua, mengapa kini setragis itu keberadaan Demokrat?

Pertama, dominasi SBY jelas tidak terbantahkan, hal itu termasuk kepada AHY sebagai anak yang digadang-gadang untuk meneruskan dinasti Demokrat dan istana sebenarnya. 

Bisa belajar dari Mega sebenarnya hal ini, bukan fasiitas dan kesempatan, namun keberanian dan kehendak untuk maju. Dominasi pada anak, namun gamang dalam banyak hal dan kesemppatan ini sangat jelas terbaca.

Kedua, berkaitan dengan kegamangan dibahasakan dengan penyeimbang, jelas sejak 2014, mendapat jatah wakil dewan dan majelis, padahal tanpa berbuat apa-apa. Dalam  kinerja politik lima tahun pun tidak jelas kontribusi bagusnya. Pemilih melihat kog bahwa mereka ragu dikemas netralitas dan penyeimbang.

Pilkada DKI jelas memberikan dua dampak besar, dengan mencabut anaknya di militer yang masih sangat dini dan kalah dengan telak. Putaran kedua khas membebaskan kader dan elitnya mendukung siapa. Ini bukan politik yang berkelas sebenarnya, takut risiko.

Ketiga, main dua kaki. Pilihan karena lagi-lagi soal gamang, memberikan kebebasan untuk kader dan elitnya mendukung paslon siapapun. Padahal administratif jelas bersama-sama Prabowo. Kan aneh pilihan terbuka lagi. Main dua kaki hal yang masih normal dalam politik, namun kalau publik begitu jadi lucu dan aneh.

Politik baper yang membuat kondisi sulit. Persoalan pribadi dengan Mega menjadi masalah berkepanjangan. Hal yang biasa kalah dan menang, telikung tipis-tipis, dan itu belum terjembatani dengan baik.

Keempat, suka atau tidak, pemerintahan Jokowi gilang gemilang, ada Sri Mulyani pula yang memperjelas bagaimana reputasi SBY dan Demokrat langsung lesap. Ini memang sangat menyakitkan, bagaimana retorika dan gaya politik SBY yang indah, terbongkar semua dengan keberadaan proyek mangkrak dan terbengkalai.

Kehendak baik pembangunan itu terbaca dengan gamblang karena kini bisa dengan kemauan keras semua proyek berjalan, dan yang baru juga selesai. Ke mana pemerintahan sebelumnya, dan siapa? Itu jelas sangat berpengaruh pada pemilih.

Kelima, beberapa politikus Demokrat malah ikut genderang koalisi 02 dengan caci maki, model ngehoax, membuat isu yang tidak karuan. Katanya politik santun dan bermartabat. Namun seolah SBY dan AHY menikmati  orkestrasi sumbang itu, entah demi apa, dan akhirnta dihukum dengan suara yang rendah. Ini jelas perlu koreksi. 

Model Anas, Ruhut, Hayono Isman, eh malah diganti level coro Ferdinan Hutahaen yang lebih banyak konflik dari pada prestasi membanggakan. Andi Arief juga mempertontonkan politikus frustasi dari pada prestasi bagus dalam menyikapi fenomena.

Keenam, terlalu banyak politikus ndompleng hidup. Nama-nama  Amir Samsudin dan anaknya, Syarif Hasan, Ibas, Agus Hermanto, Roy Suryo, bukan pemain politik agresif berkelas yang bisa membawa nama Demokrat berkibar lagi. 

Mereka sudah tidak punya gairah dan semangat untuk menang. Yang muda pun malah ikut arus pemain tua. Susah mengandalkan mereka untuk berjualan untuk kemajuan partai apalagi bangsa.

Ketujuh, AHY sebagai penerus SBY jelas dinilai sebagai produk gagal. Militer masih hijau kata Puyuono, berpolitik pun masih begitu-begitu saja. Padahal gampang mau cepat besar, kirim berita-berita atau artikel menjawab isu atau fakta hot yang ada. 

Media akan dengan suka cita merilis itu, dan nama cepat menjadi tenar. Kinerja belakangan, wacana dulu bagus toh akan dilirik. Tuh ada gubernur gatot saja bisa sukses, tanpa kerja hanya wacana.

Kedelapan, mempertontonkan pragmatisme ala Demokrat dalam sepanjang gelaran pemilu dan perjalanan bangsa ini. Mereka  tidak seberani Gerindra dan PDI-P menjadi oposisi, mereka maunya enak dalam pemerintahan, namun malu. 

Oposisi pun sungkan, jadi gamang lagi. Padahal harus jelas dan gamblang posisi sehingga bisa membangun cita seperti apa, sehingga pemilih itu jelas.

Termasuk dalam hal ini, mereka berakrab ria dengan HTI, FPI, dan kelompok yang seharusnya diberi sikap tegas. Hanya karena demi pemilih, lawan satu terlalu banyak dari pada 1000 kawan terlalu sedikit. Tidak akan bisa menyenangkan semua pihak.

Kesembilan, ini usai pilpres. Kedatangan AHY ke istana, jelas atas restu SBY, saya menunggu kalimat, ucapan syukur dan terima kasih pada Bapak Jokowi atas kedatangan dan doanya menjenguk Ibu, eh malah mengatakan, memenuhi undangan presiden. Ini jelas mentah secara politik. Mengapa?

Penghitungan resmi belum selesai. Benar bahwa pemerintahan asing sudah banyak yang mengucapan selamat, toh itu adalah pemimpin negara sahabat, Demokrat ini rival kog. Janggal dan aneh, karena terbaca ancang-ancang kompat pagar.

Posisi Demokrat itu bersama dengan koalisi lain, dan datang kepada rival yang ada kemungkinan menang sangat besar. Bisa dan boleh dibaca, meninggalkan teman karena kalah dan memilih pesaing karena menang.

Lgi-lagi Ferdinan Hutahaen yang lebih kacau lagi mengatakan, kalau Prabowo menang tetap dalam koalisi AM, kalau kalah mereka bebas. Pinjam istilah Prabowo ndhasmu, atau bahasa Jokowi sontoloyo. 

Susah melihat Demokrat ke depan, jika model  berpolitiknya masih sama saja demikian terus. Main dua kaki, gamang, dan mencari aman terus. Politik salah satu hal yang tidak boleh diabaikan adalah keberanian mengambil risiko, dan itu tidak ada dalam diri demokrat.

Terima kasih dan salam 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun