Keempat, suka atau tidak, pemerintahan Jokowi gilang gemilang, ada Sri Mulyani pula yang memperjelas bagaimana reputasi SBY dan Demokrat langsung lesap. Ini memang sangat menyakitkan, bagaimana retorika dan gaya politik SBY yang indah, terbongkar semua dengan keberadaan proyek mangkrak dan terbengkalai.
Kehendak baik pembangunan itu terbaca dengan gamblang karena kini bisa dengan kemauan keras semua proyek berjalan, dan yang baru juga selesai. Ke mana pemerintahan sebelumnya, dan siapa? Itu jelas sangat berpengaruh pada pemilih.
Kelima, beberapa politikus Demokrat malah ikut genderang koalisi 02 dengan caci maki, model ngehoax, membuat isu yang tidak karuan. Katanya politik santun dan bermartabat. Namun seolah SBY dan AHY menikmati  orkestrasi sumbang itu, entah demi apa, dan akhirnta dihukum dengan suara yang rendah. Ini jelas perlu koreksi.Â
Model Anas, Ruhut, Hayono Isman, eh malah diganti level coro Ferdinan Hutahaen yang lebih banyak konflik dari pada prestasi membanggakan. Andi Arief juga mempertontonkan politikus frustasi dari pada prestasi bagus dalam menyikapi fenomena.
Keenam, terlalu banyak politikus ndompleng hidup. Nama-nama  Amir Samsudin dan anaknya, Syarif Hasan, Ibas, Agus Hermanto, Roy Suryo, bukan pemain politik agresif berkelas yang bisa membawa nama Demokrat berkibar lagi.Â
Mereka sudah tidak punya gairah dan semangat untuk menang. Yang muda pun malah ikut arus pemain tua. Susah mengandalkan mereka untuk berjualan untuk kemajuan partai apalagi bangsa.
Ketujuh, AHY sebagai penerus SBY jelas dinilai sebagai produk gagal. Militer masih hijau kata Puyuono, berpolitik pun masih begitu-begitu saja. Padahal gampang mau cepat besar, kirim berita-berita atau artikel menjawab isu atau fakta hot yang ada.Â
Media akan dengan suka cita merilis itu, dan nama cepat menjadi tenar. Kinerja belakangan, wacana dulu bagus toh akan dilirik. Tuh ada gubernur gatot saja bisa sukses, tanpa kerja hanya wacana.
Kedelapan, mempertontonkan pragmatisme ala Demokrat dalam sepanjang gelaran pemilu dan perjalanan bangsa ini. Mereka  tidak seberani Gerindra dan PDI-P menjadi oposisi, mereka maunya enak dalam pemerintahan, namun malu.Â
Oposisi pun sungkan, jadi gamang lagi. Padahal harus jelas dan gamblang posisi sehingga bisa membangun cita seperti apa, sehingga pemilih itu jelas.
Termasuk dalam hal ini, mereka berakrab ria dengan HTI, FPI, dan kelompok yang seharusnya diberi sikap tegas. Hanya karena demi pemilih, lawan satu terlalu banyak dari pada 1000 kawan terlalu sedikit. Tidak akan bisa menyenangkan semua pihak.