Mencerna Ijtima Ulama 3 dan Isinya
Cukup lucu sebenarnya ketika berbicara ijtima ulama, baik satu, dua, apalagi tiga, jika mengatakan ulama, namun nama-nama yang  biasanya menjadi rujukan, seperti penentuan awal dan akhir puasa, pun tidak ada di sana. Lembaga yang menaungi ulama, MUI juga tidak, pun ormas keagamaan yang penuh dengan ulama seperti NU dan Muhamadiyah, juga tidak ada di sana.
Sampai tiga kali mengadakan rekomendasi, lebih cenderung menyamakan rekomendasi dengan figur, bukan sebaliknya. Idealnya adalah kriteria ideal dicarikan figur yang mendekati posisi ideal itu. Selama ini jelas figur kemudian dicari-carikan kemiripan dengan rekomendasinya. Jelas ijtima pertama telah diabaikan oleh figur yang dimaui, maka lahirlah ijtima kedua.
Paling lucu jelas ijtima ketiga, di mana rekomendasi dan simpulan yang mereka berikan jauh dari apa yang seharusnya ulama lakukan. Â Ranah teknis pemilu yang bukan bidangnya, namun dipaksakan masuk dan sehingga terkesan lucu dan malah jadi dagelan dan pelecehan. Ingat ini bukan melecehkan ulama, namun perilaku yang kebetulan memiliki status ulama. Sama sekali bukan menilai mereka sebagai ulamanya.
Beberapa hal yang janggal dari rekomendasi dan simpulan acara ketika sebagai berikut:
Pertama, ketidakhadiran Sandi, di mana ia adalah "santri milenial" memaksakan kehendak bahwa pasangan yang mereka usung adalah religius. Fakta bahwa bukan rekomendasi mencari figur, namun figur disesuaikan dengan rekomendasi. Prabowo jelas bukan seorang religius yang sesuai dengan rekomendasi mereka. Berkali ulang narasi soal agama dan kemampuan agamanya sangat buruk.
Kedua, mosok ada ulama berdiskusi dan menyimpulkan serta merekomendasikan bahwa ada ulama ulama lain berbuat curang. Â Jangan kemudian ngeles yang dituduh adalah Jokowi. Tidak bisa dong, itu satu paket. Sangat keterlaluan, bagaimana jika yang berbicara atau merekomendasikan pihak lain, demo berbab-bab akan dilakukan.
Ketiga, menyimpulkan pasangan Jokowi-KHMA curang sehingga perlu didiskualifikasi. Anehnya adalah, apa yang menjadi dasar mereka mengambil simpulan itu? Apakah mereka mengandalkan ilmu duga-duga, karena KPU pun belum mengeluarkan hasilnya. Jika berbicara hitung cepat, mereka sejak awal sudah menolak, artinya mereka munafik, hanya mengambil keuntungan sendiri.
Buktinya apa, sehingga pasangan Jokowi-KHMA bisa didiskualifikasi. Jika memang ada kecurangan dengan sangat masif, tentu sangat mudah memberikan bukti, membeberkan fakta di mana curangnya, berapa persen tindak jahat sehingga mempengaruhi jumlah pemilih. Jika ini memang ada, bawa ke pihak kepolisian, Bawaslu, dan nantinya MK, sehingga bisa diproses lebih lanjut.
Bagaimana perilaku maaf mengklaim ulama namun memainkan isu politik yang dominan, namun ketika ada ranah iman dan agama yang seharusnya mereka tegur didiamkan saja. Contoh konkret soal ibadah dan kampanye pada bulan lampau.
Keempat, seyogyanya, jika mengatasnamakan ulama, dan benar-benar ulama, tidak akan menghakimi pasti 01 curang dan pasangan 02 bersih. Cukup aneh, jika ulama yang berbicara berlandaskan norma moral yang berciri adil dan netral, namun sudah memastikan bahwa satu pasti benar dan satunya pasti salah.
Padahal KPU dan Bawaslu pun telah mengatakan, jika kedua paslon mendapatkan efek kesalahan dan keduanya sama-sama pada sisi satu mendapatkan keuntungan dan keduanya juga mendapatkan kerugian. Lembaga resmi dengan data saja sudah mengatakan hal yang demikian. Apa dasar  mereka mengatakan satu curang dan mencurangi lainnya?
Kelima, jelas sejak awal suara paslon 02 hanya memiliki kisaran 46-an% periode lalu, survey-survey pun maish tidak beranjak jauh. Apalagi yang diyakini bahwa mereka memang bisa naik secara signifikan hingga 62 bahkan 80%. Padahal Jokowi yang kerja keras, membangun tampak di depan mata saja, untuk 60% susah minta ampun. Dasarnya sangat lemah rekomendasi mereka.
Keenam, ijtima ulama ketiga sejatinya telah kehilangan rohnya, semangatnya, dan nilainya ketika sejak rekomendasi awal saja sudah diabaikan oleh Prabowo. Aneh jika mereka terus menerus menyesuaikan rekomendasi mereka atas keinginan Prabowo. Apalagi yang ketiga sangat jelas itu memenuhi hasrat obsesi Prabowo dan beberapa pihak yang ngebet dan kebelet kekuasaan, padahal sejatinya mereka paham memang tidak akan bisa mendapatkan itu.
Sekali lagi ini bukan soal penilaian keulamaan seseorang atau kelompok, namun perilaku pribadi dan kelompok yang menyematkan ulama dalam aktifitas mereka. Sah-sah saja mendukung atau membela pilihan, namun tentu secara proporsional dan wajar. Tidak terlalu berlebihan dan menafikkan nalar malah.
Bedakan aktifitas, jabatan, dan pribadi seseorang sehingga tidak main hantam kromo saja, apalagi menuding penistaan segala. Jika seorang bapak, yang berprofesi guru, dan juga bertindak membantu menjadi Hansip. Nah suatu hari si bapak keluarga yang baik ini, juga pengajar yang disenangi muridnya, pas berjaga karena kecapekan ia ketiduran, ada maling dan ia tidak bisa menjaga kawasan yang menjadi wewenangnya. Apakah ia sebagai bapak yang baik juga ikut rusak reputasinya? Atau sebagai guru yang menyenangkan juga buruk? Jelas tidak.
Peran masing-masing, kondisi yang terjadi juga menentukan. Tidak serta merta kesemuanya itu jelek atau buruk. Kecuali itu berulang kali terjadi, menjadi sebuah watak dan kemudian sifat, itu baru ketiganya akan menjadi jelek.
Pendidikan perlu membawa orang terutama peserta didik kritis dan tidak membuat semuanya campur aduk jadi satu. Dan inilah yang disasar politikus malas mencampuradukan demi kepentingan diri dan kelompok sesaat. Keuntungan sesaat dan sesat dengan mengorbankan bangsa dan negara.
Selamat Hari Pendidikan Nasional
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H