Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Memanfaatkan Kejawaan Jokowi

30 April 2019   19:13 Diperbarui: 30 April 2019   20:15 698
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pertama-tama berbicara Jawa, kejawaan ini bukan dalam konteks sektarian, namun karena perihidup, keyakinan, dan dasar berperilaku dengan falsafah Jawa. Jadi yang mau nyinyir dan komentar sektarian sangat tidak perlu. Tidak ada yang salah dengan falsafat kedaerahan, asal bukan menjadikan daerahnya lebih baik dan daerah lain lebih buruk.

Salah satu falsafah Jawa yang demikian diugemi Jokowi adalah mikul dhuwur mendhem jero, dalam konteks bukan untuk menghargai orang tua, namun juga rekan dan stafnya. Hal ini tampak dalam pergantian menteri. Hanya duga-duga  media, pengamat, atau  orang yang suka mengira-kira apa yang terjadi pada sosok itu sehingga diganti.

Menteri dari pergantian ke pergantian, ada yang dilantik lagi dalam posisi yang berbeda tidak ada keterangan mengapa diganti dan mengapa diangkat lagi atau diangkat orang lain. Hal yang cukup berbeda, apalagi sebenarnya itu hal  yang wajar dan presiden yang memiiki hak prerogatis bisa mengatakan mengapa menganti ini dengan itu.

Presiden tentu memegang prinsip yang cukup baik untuk tidak sekadar mengatakan secara normatif saja pergantian menterinya itu, namun jarang ada pernyataan secara langsung yang mengatakan alasan, terutama secara negatif mengapa diganti. Paling-paling percepatan kinerja, penyegaran kabinet, atau karena urusan mundur dengan berbagai alasan.

Padahal sangat ungkin mengatakan satu saja alasan, si A diganti karena tidak bisa bekerja sama sebagai tim, atau mau menang sendiri dalam kebersamaan sebagai kabinet, itu saja cukup dan bisa mengurangi potensi keriuhan yang diakibatkan "balas dendam" politik. Jika demikian, memang sangat tidak elok, namun toh melihat siapa yang diperlakukan juga penting.

Beberapa menteri yang diresuffle memang tidak dominan dan banyak omong, ada pula yang masih ikut bersama-sama dengan Jokowi dalam sisi yang berbeda. Namun ada beberapa yang berseberangan dan banyak berbicara seolah-olah si pecatan ini sukses, gilang gemilang, namun dibuang karena kalah presiden kalah pinter.

Ada pula yang memilih berseberangan, namun secara publik tidak juga banyak bicara, ini masih cukup wajar juga, karena sangat mungkin bahwa mereka toh ketika tidak lagi bersama, sangat wajar juga beralih posisi dalam politik. Ini jauh lebih pantas dan wajar.

Beberapa yang seolah merasa sukses dan malah Jokowi yang sepertinya berperilaku jahat dan memperlakukan tidak adil seperti,

Anies Baswedan, yang ada di Jakarta dengan posisi yang berbeda. Posisi yang pernah diisi Pak Jokowi, namun sikapnya seolah lebih sukses dan benar dalam berbagai isu dan kejadian. Padahal dalam banyak segi warga toh paham seperti apa kualitasnya.

Rizal Ramli. Salah satu menteri yang memang  suka bicara dan aktifis ini seolah masih aktifis.  Biasa mengatakan menteri keuangan terutama begini dan begitu, toh  gebrakannya sebagai menteri juga tidak ada sama sekali kog.

Feri Mursidan Baldan, cukup nyaring juga, apalagi masa kampanye ini dengan keberadaannya di BPN. Salah satu yang mengejutkan tanggapannya mengenai keputusan pemindahan ibukota negara. Ia mengatakan apa karena gubernurnya Anies?

Beberapa hal patut dilihat. Benar bahwa Anies dan Feri ada dalam kubu yang sama, dan itu adalah berhadapan dengan Pak Jokowi pada pihak yang berbeda. Namun apakah sesederhana itu pemindahan ibukota hanya karena gubernurnya ada pada kubu yang berbeda.

Terlalu dangkal dan sederhana sebenarnya, pun Feri juga mengatakan itu hanya satu bagian kecil dari banyak komentarnya. Kajian ini bukan tiba-tiba usai pemilu ada keputusan itu. Jauh-jauh hari, bahkan era Bung Karno pun sudah dinyatakan. Persiapan Palangkaraya sudah ada bekas-bekasnya hingga hari ini. Artinya sudah puluhan tahun lalu.

Alasan presiden pun bukan semata karena Jakartanya saja, namun juga Jawa secara umum sudah terlalu sesak untuk menampung kisaran 57% penduduk Indonesia, padahal luasannya hanya sebagian kecil bangsa ini. ketersediaan lahan untuk papan, pangan, jalan, dan lain sebagainya makin sempit dan sesak.

Pemikiran soal ini jelas sudah mementahkan argumen karena gubernurnya Anies. Jika saja memang tidak mau Anies, sangat mudah bagi Jokowi sebagai presiden. Katakan saja  tidak cukup cakap, maka jadi menteri pun diganti, atau urusan anggaran keuangan di kementrian diungkapkan ke KPK, meskipun hanya dipanggil sebagai saksi sudah membuat mati langkah. Itu jelas bukan watak Jokowi.

Apa yang mereka perbuat ini jelas karena sakit hati, sangat wajar, namun kurang ajar, karena toh tidak hanya mereka yang diganti, masih banyak yang tetap respek dan tidak menyatakan keburukan atau membalikan fakta yang ada. Satu dua kali berseberangan sih masih normal, namun kalau setiap hal, wacana, gagasan, isu dibantah dan dicari-carikan dalih untuk menjelekkan jelas sudah kurang ajar.

Energi bangsa ini sangat terkuras hanya untuk pro dan kontra hanya pada hal yang kadang tidak fundamental. Mengapa harus demikian panas dan berpanjang lebar, hanya karena perbedaan politik. 

Padahal jelas namanya demokrasi, negara demokratis akan memiliki periodisasi kepemimpinan atau pemerintahan. Tidak akan sampai seumur hidup laiknya negara otoritarian. Paling lama juga sepuluh tahun, mengapa harus riuh rendah dan malah kontraproduksi.

Waktu, energi, pemikiran, jauh lebih bermanfaat dan bermartabat jika dipakai untuk berpikir positif, kalah itu kesempatan untuk menang di periode berikut. Sangat wajar dalam politik itu memang dan kalah. Lucu dan kekanakan banget jika tidak mau kalah dalam berpolitik dan berdemokrasi.

Terima kasih dan salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun