Pertama-tama berbicara Jawa, kejawaan ini bukan dalam konteks sektarian, namun karena perihidup, keyakinan, dan dasar berperilaku dengan falsafah Jawa. Jadi yang mau nyinyir dan komentar sektarian sangat tidak perlu. Tidak ada yang salah dengan falsafat kedaerahan, asal bukan menjadikan daerahnya lebih baik dan daerah lain lebih buruk.
Salah satu falsafah Jawa yang demikian diugemi Jokowi adalah mikul dhuwur mendhem jero, dalam konteks bukan untuk menghargai orang tua, namun juga rekan dan stafnya. Hal ini tampak dalam pergantian menteri. Hanya duga-duga  media, pengamat, atau  orang yang suka mengira-kira apa yang terjadi pada sosok itu sehingga diganti.
Menteri dari pergantian ke pergantian, ada yang dilantik lagi dalam posisi yang berbeda tidak ada keterangan mengapa diganti dan mengapa diangkat lagi atau diangkat orang lain. Hal yang cukup berbeda, apalagi sebenarnya itu hal  yang wajar dan presiden yang memiiki hak prerogatis bisa mengatakan mengapa menganti ini dengan itu.
Presiden tentu memegang prinsip yang cukup baik untuk tidak sekadar mengatakan secara normatif saja pergantian menterinya itu, namun jarang ada pernyataan secara langsung yang mengatakan alasan, terutama secara negatif mengapa diganti. Paling-paling percepatan kinerja, penyegaran kabinet, atau karena urusan mundur dengan berbagai alasan.
Padahal sangat ungkin mengatakan satu saja alasan, si A diganti karena tidak bisa bekerja sama sebagai tim, atau mau menang sendiri dalam kebersamaan sebagai kabinet, itu saja cukup dan bisa mengurangi potensi keriuhan yang diakibatkan "balas dendam" politik. Jika demikian, memang sangat tidak elok, namun toh melihat siapa yang diperlakukan juga penting.
Beberapa menteri yang diresuffle memang tidak dominan dan banyak omong, ada pula yang masih ikut bersama-sama dengan Jokowi dalam sisi yang berbeda. Namun ada beberapa yang berseberangan dan banyak berbicara seolah-olah si pecatan ini sukses, gilang gemilang, namun dibuang karena kalah presiden kalah pinter.
Ada pula yang memilih berseberangan, namun secara publik tidak juga banyak bicara, ini masih cukup wajar juga, karena sangat mungkin bahwa mereka toh ketika tidak lagi bersama, sangat wajar juga beralih posisi dalam politik. Ini jauh lebih pantas dan wajar.
Beberapa yang seolah merasa sukses dan malah Jokowi yang sepertinya berperilaku jahat dan memperlakukan tidak adil seperti,
Anies Baswedan, yang ada di Jakarta dengan posisi yang berbeda. Posisi yang pernah diisi Pak Jokowi, namun sikapnya seolah lebih sukses dan benar dalam berbagai isu dan kejadian. Padahal dalam banyak segi warga toh paham seperti apa kualitasnya.
Rizal Ramli. Salah satu menteri yang memang  suka bicara dan aktifis ini seolah masih aktifis.  Biasa mengatakan menteri keuangan terutama begini dan begitu, toh  gebrakannya sebagai menteri juga tidak ada sama sekali kog.
Feri Mursidan Baldan, cukup nyaring juga, apalagi masa kampanye ini dengan keberadaannya di BPN. Salah satu yang mengejutkan tanggapannya mengenai keputusan pemindahan ibukota negara. Ia mengatakan apa karena gubernurnya Anies?