Narasi Kemenangan ala Prabowo yang Dimentahkan Sendiri
Sejak hasil hitung cepat yang direstui MK rilis, kisaran pukul 15.00, seminggu lalu, Prabowo menyatakan kemenangannya. Menolah hasil hitung cepat versi apapun. Deklamasi, eh deklarasi kemenangan berkali ulang dilakukan. Mulai yang tidak ada si cawapres hingga ada, angka kemenangan yang mungkin seturut prosentase masuk, dari 52% menjadi 62%.
Deklarasi dengan sujud syukur itu jelas ia adalah pemenang. Nah menjadi lucu dan aneh adalah deklarasi itu tidak sinkron dengan apa yang ditampilkan, baik bahasa tubuh, reaksi, aksi, dan juga narasi lain yang malah menjadi sumbang dan lucu. Begitu banyak kelucuan dan maaf meminjam bahasa Prof. Gerung, malah dungu.
Beberapa indikasi sumbang itu adalah,
Partai pengusung malah beramai-ramai mengakui hasil  hitung cepat. Lepas dari kepentingan partai politik yang merasa nyaman dan aman. Toh itu juga menjadi pertimbangan dari pada misalnya pemilu ulang malah bisa hangus karena kemarahan dan kejengkelan rakyat pemilih, jadi sangat mungkin itu menjadi pertimbangan parpol. Soal presiden dan wapres tidak lagi menjadi kepedulian mereka, toh bukan kader mereka juga.
Bahasa tubuh pemenang itu adalah suka cita, kegembiraan, riang gembira. Apa yang ditampilkan dalam banyak aksi dan deklarasi itu kuyu, tidak bergairah, apalagi Sandiaga Uno, pemain sepak bola dan tinju itu meskipun habis-habisan, berdarahdarah masih bisa berselebrasi, victory lap segala, ada energi yang kembali meluap.
Hal yang sama tidak ada, dan itu sampai deklarasi selanjutnya masih sama demikian tidak bergairah. Â Mengangkat tangan untuk yel saja beratnya minta ampun. Pemenang tidak kehabisan energi hanya untuk meneriakan kemenangan sendiri.
Deklarasi berkali-kali, atas dasar hitung intern. Aneh dan lucu, ketika klaim kemenangan dasarnya adalah intern, pihak lain tidak ada yang memberikan fakta, data, dan sebuah saja pendukung yang meyakinkan publik. Mengandalkan permainan menurut kami, dan yang lain curang.
Narasi kecurangan, sudah menang mengapa menuduh yang diklaim kalah berbuat curang. Coba nalar yang dibolak-balik sendiri. Pemenang akan tetap berkata menang apapun yang terjadi mau hitung cepat atau hitung lambat, atau mau hitung manual, atau digital tetap menang. Lucu dan aneh dengan narasi yang dibangun.
Jika yang dijadikan rujukan sah dan resmi adalah hitung manual, ada isu KPU curang, server dibobol dan diretas. Lha untuk apa meretas alat yang hanya membantu itu? Yang menjadi patokan kan kertas-kertas yang bertumpuk itu, dan itu bisa diakses oleh siapa saja, terbuka, dan begitu banyak saksi.
Narasi dan klaim menang namun ada juga narasi pemilu ulang. Lha dalah, kalau diulang dan kalah, mau menuding lagi curang, kan sampai lebaran kuda juga tidak akan selesai. Lha sudah menang kog malah mau mengadakan pemilu ulang. Karepmu ki apa? Menang tetapi meminta pemilu ulang? Nalarnya di mana?
Menyalahkan KPU dan Bawaslu, padahal mereka produk politik, DPR, yang semua partai terlibat di sana, soal ternyata ada afiliasi parpol itu kasus lain, yang jelas bahwa itu produk DPR bukan pemerintah. Susah melihat pemerintah bisa meminta kedua lembaga independen itu untuk melakukan kecurangan demi keuntungan kubu 01 yang sedang memerintah.
Ucapan selamat dari luar negeri, itu jelas kredibilitas pemerintah, negara, dan harkat bangsa jika sampai salah. Dan nyatanya lebih dari dua puluh kepala negara dan pemerintah yang telah mengucapkan selamat. Mosok mereka juga dibayar jika berbicara lembaga survey telah dibayar. Coba kalau negara sahabat dilukai seperti itu, bagaimana jika benar mereka menang?
Melaporkan kepada pihak kepolisian lembaga survey resmi, mereka telah mendapatkan reputasi sekian lama, dan legalitas oleh otoritas yang berwenang, dituding menyebarkan kebohongan, dibayar pihak lain, dan mereka percaya lembaga sendiri, yang tidak terdaftar dan juga rekam jejaknya tidak terdengar selama ini.
Apa yang disajikan jelas lemah, apa yang mereka tampilkan itu klaim sangat lemah dasarnya, sehingga malah saling menegasi apa yang dinyatakan oleh satu dan pihak lainnya. Apa  yang mereka lakukan selama menjadi oposisi dan selama masa kampanye itu nol besar.
Fokus hanya mengejar kursi dan kegagalan Jokowi bukan soal membangun narasi positif untuk meyakinkan pemilih. Pemilih mereka dulu kisaran 46,85%-an, artinya tidak jauh-jauh amat, dengan rentang kisaran 8%, dengan rival yang harusnya diprediksi sama, sebenarnya bisa lah meyakinkan yang kisaran delapan persen itu.
Karena narasinya malah seolah memberikan pemberitaan pada sosok Jokowi dengan yang itu-itu saja, orang malah jadi simpati dan memilih Jokowi. Jangan salahkan KPU dan pemerintah. Apa yang digaungkan selalu saja Jokowi kog.
Ide dan gagasan baru lemah semua. Menafikan justru keberhasilan dan itu adalah  pujian dari luar negeri, jelas itu sangat positif, namun malah diserang, dan dijadikan senjata yang lagi-lagi bumerang.
Apa yang ditampilkan selama ini di luar kendali dan koordinasi, malah memperlemah dan menguak kekurangan dan kekeliruan satu sama lain. Ide dan kreatifitas luar biasa banyak dan keren, namun malah parah dan memperlemah.
Jangan katakan intelijen atau penyusup yang merusak, karena memang perilaku ugal-ugalan sendiri yang membuat jerat dan blunder tiada henti. Lebih baik kembali fokus lima tahun mendatang dengan narasi berbeda, cerdas, dan baru. Jangan usang dan mengulang yang sudah ada, antisipasinya gampang banget.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H