OK-Oce dan Pilkada DKI Membantu Pemilu 2019
Cukup menarik apa yang terjadi dalam kontestasi 2019. Pemilu legeslatif dan pemilihan presiden yang serempak memberikan tambahan kerja bagi para pelaku di TPS dan jajaran ke atas. Salah satu yang cukup krusial adalah pemilihan presiden.
Dua kali dengan rival yang sama, hanya berbeda pada banyak komposisi, kemudian lagak lagu, serta cara berkampanye dari keduanya yang senada, ada faktor-faktor yang membuat pembeda. Beberapa hal yang sangat menonjol adalah:
Pilkada DKI 2017.
Suka atau tidak itu adalah pemilihan "bar-bar" yang demikian masifnya politik identitas, penggerahan massa, intimidasi baik terbuka ataupun yang malu-malu demikian terkuak secara publik dan dijadikan panglima di dalam meraih kemenangan.
Itu terekam dengan baik, dan  banyak pihak yang dulunya abai, seenaknya berpikir untuk tidak peduli, serta masa bodoh, tergerak untuk menyegah itu menjadi gaya berpolitik nasional. Ini terasa banget dalam banyak perbincangan dan ulasan.
Pilkada DKI itu pun belum usai dengan perilaku tidak semestinya di pemilihan beberapa kota di luar negeri. Dugaan ada upaya dan  adanya dugaan pengaturan keadaan yang menguntungkan sekelompok pihak, membuat yang di dalam negeri mengadakan antisipasi dan juga reaksi baik dipilih.
Keadaan DKI yang tidak menjadi baik juga menjadi cermin perilaku pemilih secara nasional. Perubahan pemilihan cukup besar, dalam hasil berbagai cara penghitungan, meskipun penghitungan versi resmi belum keluar, toh tidak akan banyak perubahan yang terlalu signifikan. Ini juga melihat bagaimana pemerintahan daerah Jakarta yang kembali era lampau lagi.
Selisih dan sengkarut pengisian jabatan wakil gubernur di DKI juga menjadi penyumbang suara bagi pemilih untuk enggan memilih 02 yang fokus pada kekuasaan dan abai soal pemerintahan apalagi rakyat yang menjadi tuan atas mereka. Jelas tampak mereka penguasa bukan jabatan untuk melayani.
OK-OCE Program Gagal yang Ditolak Menjadi Program Nasional
Hal yang cukup signifikan, bagaimana hasil, dampak, dan bibit program itu pun belum ada. Anies sebagai pengusung, atau bagian dari pengusung program itu pun sudah menyatakan hal yang sebaliknya dari apa yang dinyatakan Sandi. Dari dalam saja jelas keropos, mosok mau di nasionalkan.
Program gagal yang dibawa ke mana-mana, bahkan debat sekalipun, dulu masih manjur dengan kondisi pilkada DKI. Ini nasional, dan gagasan omong kosong itu sudah benar-benar terbukti.  Pemilih tidak mau terkelabuhi sebagaimana pilkada DKI. Memang pilkada 2017 itu berbeda banyak karakter dan  alasan untuk terjadi.
Miskin gagasan dan ide jelas menjadi masalah besar bagi sebuah gelaran pemilihan presiden. bagaimana duplikasi ide dan gagasan itu tidak lagi mempan, ketika ini menjadi program nasional. Dulu gagasan KJP dengan Plus, kini tiga kartu menjadi satu, malah blunder terbesar bahwa mereka tidak serius di dalam menghadapi pemilihan kali ini.
Beberapa hal lain yang membuat  suara mereka tidak banyak berubah dari pilpres 2014 adalah;
Jokowi sudah bekerja. Dan itu malah menjadi fokus mereka untuk menurunkan kualitas capaian. Ini kesalahan, bukan memberikan gambaran lebih baik ke depan, jika memilih mereka. Ada waktu empat tahun lebih yang tidak mereka manfaatkan seccara positif. Fokus mereka kejatuhan Jokowi bukan membangun gambaran positif mereka.
Melukai banyak tempat yang seharusnya mereka rangkul. Ada dua paling tidak yang patut menjadi perhatian. Soal tampang Boyolali, ketika pilkada Jawa Tengah 2018, representatif identik dengan pilpres, calon mereka  banyak mendapatkan suara nol di TPS, kini pilpres makin banyak karena tampang Boyolali.
Bali di mana pariwisata sudah demikian mendunia, diusik dengan gagasan yang sangat tidak sesuai dengan karakter dasar mereka. Apa yang sudah baik malah diusik dengan hal yang tidak sesuai dengan karakter dasar mereka. Mereka memiliki tradisi, aturan, dan halhal lain yang mendasar sendiri, mengapa harus diusik dengan gagasan mentah yang berbeda dengan perilaku mereka, tidak kalah baiknya pula.
Penguasaan materi yang jelas masih separo-separo, pura-pura bloon yang terus diulang. Di pilkada DKI ini sukses, lagi-lagi kondisi berbeda.  Konteks sangat jauh berbeda. Kesalahan karena berpikir masa lalu saja. Copas DKI abai kondisi nasional.
Lagi-lagi copas, Amrik.  Hal yang lucu dan aneh karena kondisi pemilih dan pemilihan yang  berbeda. Gagal membangun citra diri baik karena lawan yang didengungkan tidak faktual dan nyata di sini. Trump sukses karena memang Amrik pernah jaya dan mau dikembalikan. Tudingan pada imigran dan agam pun sahih di sana, di sini kambing hitam PKI dan antiulama mudah terpatahkan.  Ini yang mereka abaikan, karena sibuk mengais-ngais kesalahan Jokowi saja.
Kecemasan dan ketakutan yang didengung-dengungkan ternyata mendapatkan banyak fakta yang berbeda dengan kondisi lapangan. Hal yang cukup positif bahwa bangsa ini tidak takut dengan ketakutan ala Trump. Kita patut berbangga bahwa Indonesia lebih demokratis dari si penganjur demokrasi itu sendiri.
Pemilu belum usai sepenuhnya, namun melihat banyak fakta positif yang dipelajari bangsa ini, baik dari daerah, bahkan dari Amerika Serikat sekalipun, selayaknya kini menatap ke depan. Bersatu untuk Indonesia yang lebih baik.
Energi buruk yang sekian lama telah dihambur-hamburkan perlu dialihkan menjadi daya juang dan membangun bangsa dan negara yang lebih baik lagi. Pembangunan selama ini dengan beban berat nyinyiran dan cibiran sudah waktunya dihentikan dan jadikan cambuk untuk melaju jauh ke depan untuk Indonesia lebih baik.
Sayang potensi yang ada, justru dihambat oleh ulah gila kursi dan kuasa oleh segelintir elit dengan maaf kenaifan mereka di dalam melihat demokrasi yang terbatas itu seolah selamanya. Â Tidak banyak kog sebenarnya penghambat laju Indonesia ini.
Waktunya pembangunan seutuhnya, bukan lagi ada dikotomi demi gelaran lima tahunan, kini adalah Indonesia maju seutuhnya. Raihan itu sudah dimulai dan perlu dilanjutkan kemudian dengan jalan yang lebih mudah dan penuh dukungan seluruh elemen anak bangsa.
Penegakan hukum menerima  momentum untuk diterapkan sepenuhnya ketika legeslatif dan eksekutif bisa sinergi. Kepentingan politik bisa dinafikan demi hukum. Â
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H