Ryamizard: Gatot Sudahlah...., dan Deligitimasi Pemilu 2019
Bahasa Pak Menhan Ryamizard ini meneduhkan, dua kali menggunakan jawaban yang sama, satu untuk Dhani dan kini untuk gatot Nurmantyo. Jawaban bapak kepada anak yang rewel minta ini dan itu, padahal si bapak juga pedih melihat kenyataannya. Meneduhkan di tengah badai politik, padahal jika melihat sosok jenderal dan seorang militer beneran.
Sejenak melihat jauh ke belakang, bagaimana sikap Gatot Nurmantyo kali ini, di  mana jauh bernuansa politis dan dukungan dengan memainkan isu sensitif. Menyoal anggaran TNI dengan membandingkan pada anggaran kepolisian. Jawaban Menhan, sudahlah Gatot...
Pemilihan untuk mengganti Panglima TNI dengan Jenderal Hadi cukup tepat. Jika menunggu hingga usia pensiun Gatot, konsolidasi di dalam tubuh TNI tidak cukup waktu untuk itu. Jangan di anggap kalau dalam tubuh TNI bisa utuh, solid, dan netral sepenuhnya. Faksi itu tetap saja ada. Dan mengganti dengan tepat dan waktu yang tepat pula.
Jika mau jauh lagi ke belakang, pemilihan Jenderal Gatot yang menggantikan jenderal TNI AD pun tepat, jika urut-urutan itu adalah "jatahnya" AU, dan pada gelaran ini menjadi jatah AD. Perhitungan politis njlimet ini ternyata berbuah pada kondisi saat ini. Potensi  untuk terjadinya kekisruhan dan politisasi militer bisa terkondisikan lebih lembut dan tidak terjadi.
Kondisi yang sudah dihitung sejak awal itu benar. Komentarnya mengenai anggaran yang diperbandingkan dengan polisi jelas arahnya. Jawaban cerdik oleh Menhan, tentara itu dari rakyat, rakyat yang utama, anggaran sudah lebih dari cukup, apalagi sudah naik sejak era Gatot. Hal yang sebenarnya bagian dari skenario besar, jika mau menggunakan teori konspirasi.
Beberapa waktu lalu, di Sumut, ada seorang anggota dewan, komisi III lagi yang mengatakan TNI sudah netral dan polisi belum. Sudah masuk ranah penegakan hukum tampaknya. Artinya memang ada upaya untuk  membuat seolah polisi tidak netral dan perlu penggantian kapolri.
Cukup menarik juga ketika seorang asing membuat sebuah ciutan yang mengarah bahwa kapolri perlu diganti jika kubu Prabowo menang. Ada benang merah di sana-sini yang mengarah pada satu kesatuan untuk membuat soliditas TNI-Polri itu lemah.
Deligitimasi KPU-Polri, dan MK
Upaya untuk itu berkali ulang dilakukan. Isu dan seolah pernyataan mengenai tujuh kontainer surat suara tercoblos jelas ke mana arahnya. KPU tidak becus dan perlu dipertanyakan kredibilitasnya. Menarik karena yang mengatakan adalah partai pemenang di dua gelaran pilpres, dan dua pula petingi KPU masuk jajaran elit partainya. Ada apa? Kajian lain tentunya.
Isu lagi-lagi identik, adanya kontainer pengangkut logistik pemilu dengan huruf asing. Apa kaitannya dengan pemilu coba, ini era global lagi, bukan era zaman batu yang hanya berkutat pada pantat sapi saja. Toh menguap begitu saja.
Ada yang mengaku dan bangga dengan klaim sebagai pahlawan reformasi, zaman dia pula lahir MK namun mau menggerakan massa untuk people power, jika koalisinya kalah. Ke mana arahnya? Bahwa demokrasi okol menjadi pilihan mereka, karena akal sudah buntu. Lagi-lagi deligitimasi lembaga negara, ini parah.
Penyetelan server KPU, kemenangan untuk paslon 01, padahal penghitungan sah itu yang dihitung manual, dari TPS ke PPS ke PPK, kabupaten-kota, provinsi, dan nasional. Jadi manualnya yang lebih dijadikan rujukan. Menyetel server, jelas bukan pemikiran yang menemukan kesahihannya. Gagal lagi.
Keberadaan rekaman lucu surat suara tercoblos di Malaysia.  Kejanggalan demi kejanggalan terjadi, dan dengan mudah terbantahkan. Hanya mau mengatakan  kalau pemerintah, sekaligus calon incumbent curang. Toh bisa dijawab dengan lugas itu tidak demikian. Siapa pelakunya sudah ketahuan dengan baik.
Kekisruhan di penyelenggaraan pemilu di LN. Beberapa laporan bahwa ada upaya menghambat pemilih menggunakan hak suaranya. Menjadi lucu ketika suara yang tidak seberapa namun upaya merusaknya kog seolah masif. Ada apa jika demikian? Â Lagi-lagi soal mau meruntuh wibawa semata.
Gerakan dapur umum sebagai kelanjutan mau lebaran di TPS. Jelas maksudnya adalah mau membuat keadaan TPS bukan ajang pesta demokrasi namun mau menguasai TPS dan membuat pemilih dari koalisi tertentu leluasa untuk berbuat.
Dua fakta besar yang mau dijadikan alat malah terkuak. Kisah pilkada DKI yang menggunakan tekanan massa dan politik sektarian sukses besar. Dan itu mau diterapkan lagi. Namun apakah konteksnya sama? Jelas berbeda.
Kedua, kisah kericuhan di LN menjadi data dan fakta antisipasi baik untuk pelaksanaan di dalam negeri menjadi lebih baik lagi. Hal yang malah membuka tabiat buruk sendiri, dan itu adalah berkat terselubung yang dibuka sejak dini.
Apa iya Jokowi perlu sekasar itu berbuat curang? Sangat lucu dan aneh, ketika dengan menurunkan tarif dasar listrik saja rakyat pasti akan memilih, mengapa harus curang dan kasar begitu? Populis yang legal lagi, toh tidak dilakukan.
Menurunkan harga BBM, seribu rupiah saja masing-masing jenis bahan bakar, berbondong-bondong pemilih tanpa harus susah-susah nyoblosi atau menyetel server. Legal dan jauh lebih menjanjikan padahal, toh tidak dilakukan.
Menaikkan atau memberi tunjangan untuk ASN, militer-polisi, dan pensiunan dengan berbagai nama dan cara, Rp. 300.000,00 saja, sudah jaminan pemilih akan mau dan suka rela dari pada harus susah-susah membeli tujuh kontainer dari China, ketahuan lagi.
Akses legal presiden itu banyak, mesin partai juga baik dan banyak, aneh dan lucu jika mau membuat kecurangan kog ketahuan dengan mudah. Untuk apa intelijen bekerja, ingat ini bukan untuk kepentingan Jokowi pribadi sebagai capres, namun juga sebagai presiden sebagai penyelenggara pemilu.
TNI-Polri yang sinergi itu masalah bagi pelaku kecurangan. Dengan menghembuskan isu ada ketidaknetralan di tubuh salah satunya menjadikan mereka saling curiga dan di dalam mengawal pesta demokrasi menjadi lemah.
Siapa saja yang menebarkan kecemasan, kekhawatiran, sikap saling curiga, apa iya model demikian mau dipercayai untuk memimpin negeri ini? Bayangkan saja, apakah tidak akan menderita dipimpin oleh pribadi-pribadi penebar teror seperti itu?
Siapa saja yang optimis, meneduhkan, menenangkan, dan memberikan rasa aman itu layak dijadikan panutan untuk lima tahun ke depan di dalam memimpin negeri ini. Lihat saja, bisa kog Menhan mengatakan, Hey Gatot apa khabar helikopter itu, zaman siapa terjadi? Itu tentu akan membuat ramai dan riuh rendah yang malah menambah keadaan lebih buruk.
Namun, bahwa banyak pihak yang menggunakan kesempatan untuk menebar kecemasan dengan pilihan bijak pemerintah untuk mengalah, bukan berarti kalah dan tidak dilakukan perlawanan. Ingat ada sisi spiritualitas yang sering diabaikan kubu yang memang dasarnya suka menebarkan ketakutan. Kehendak Yang Kuasa, serapi apapun upaya dan rencana manusia, toh bisa berantakan. Hal sepele bisa menjadi bencana luar biasa.
Memilih dengan jernih dan tidak perlu ketakutan, pesta rakyat itu benar-benar suka cita, bukan kecemasan dan kegalauan. Kalah menang itu biasa, tidak perlu menjadi jemawa dan lupa daratan. Menang kalah itu lima tahunan, bukan seumur hidup, emang masa lalu yang sampai pikun menjadi presiden?
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H