Penolakan Slamet dan Perilaku Toleran
Kemarin, cukup ramai pemberitaan dan pembicaraan soal penolakan keluarga Slamet yang Katolik untuk tinggal di sebuah kampung. Cukup menarik ini adalah DIY, yang sangat kental dengan nuansa kekeluargaan dan guyup rukun. Usai persoalan pemakaman dan salib yang lalu, ini juga cukup memedihkan.
Pada sisi lain, perilaku atau aktivitas yang jauh berbeda ada pula. Saya kemarin membuat status dalam media percakapan gambar dari sampul buku Saleh Ritual, Saleh Sosial, karya Gus Mus. Kompasianer Sampun Sepuh Manula, ternyata juga terinspirasi menggunakan tema yang sama. Sorenya beliau mengatakan kalau apa yang beliau tampilkan mendapatkan apresiasi positif dari rekan-rekan Muslimnya.
Tanggapan baik dengan mengemukakan kalau mereka juga mengagumi Rm Mangun dan Rm Magnis, ada saling menyanjung ulama pihak yang berbeda. Pointnya tentu bukan soal sanjungan, namun pada pengenalan pribadi, karya, dan buah pikir kemanusiaan yang menjadi titik temu dan mendapatkan persamaan.
Artikel ini tentu tidak hendak memanaskan peristiwa keluarga Slamet dengan sebuah kampung itu, karena sudah selesai dan usai. Jauh lebih penting adalah menemukan persamaan demi menjembatani perbedaan, bukan malah mengulik-ulik perbedaan yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan.
Menemukan persamaan sekecil apapun jauh lebih menyenangkan dan nikmat di dalam hidup bersama
Mungkin memang sudah dasar dan wakat manusia yang merasa lebih unggul, merasa lebih baik, bak kecap selalu nomor satu. Itu sah-sah saja, boleh demikian, namun jangan dengan mengorbankan orang lain. Dalam permainan sepak bola orang yang mau menyundul bola dan menggunakan pundak lawan untuk naik pun dianggap pelanggaran. Demikian juga jika kita mau nomor satu jangan menomorduakan pihak lain.
Begitu banyak perbedaan, pun  jangan lupakan, begitu banyak pula persamaan yang akan kita temukan di dalam hidup bersama ini. Apa yang menjadi fokus kita itu yang akan kita temukan. Kalau memang tujuannya mencari perbedaan ya akan ketemu saja yang berlainan. Sebaliknya, jika mau mengupayakan mendapatkan persamaan, yakinlah ada juga jembatan yang sama itu.
Bangunlah jembatan bukan jurang pemisah
Donal Trump ketika kampanye dan juga menang mewacanakan tembok pemisah negaranya agar tidak ada imigran yang "ndompleng"Â di US. Itu terserah DT, Paus Fransiskus menyerukan UE untuk membuka gerbang dan bangunlah jembatan bagi imigran yang karena berbagai sebab lari dari negara asalny. Â Sudut pandang politis dan spiritual yang berbeda tentunya.
Membangun jembatan yang menyatukan itu perlu keberanian keluar dari diri sendiri, kungkungan larangan beraneka macam, dan yang istimewa hilangkan sikap saling curiga dan melihat pihak lain sebagai musuh dan potensi merusak dan merongrong. Itu penyakut akut termasuk dalam hidup beragama.
Salah satu caranya adalah, kenalilah saudaramu, cintailah mereka seperti engkau mencintai diri sendiri. Tembok pemisah karena orang cenderung egois, cinta diri yang berlebih-lebihan, dan memiliki perasaan tidak aman, pihak lain sebagai ancaman.
Mengapa model pemisahan menilai pihak lain sebagai liyan itu demikian kuat dan makin menggejala akhir-akhiri ini?
Sebenarnya akan banyak ditemui perihal aturan seperti yang dialami Keluarga Slamet ini, karena merasa adat timur yang memegang tradisi ngalah dhuwur wekasane, termasuk saya yang nggugemi hal itu dengan ketat, menjadikan hal demikian marak dan merajalela. Apalagi ketika sudah berbicara dan melibatkan politis dan gerakan fundamentalis.
Jika merujuk pada buku Ilusi Negara Islam Indonesia hal-hal ini sebenarnya jauh-jauh hari sudah memberikan peringatan akan adanya bahaya lebih besar karena berbagai indikasi perilaku yang ada. Siapa saja disebut, model gerakannya dinyatakan dengan gamblang. Bagaimana mereka merongrong NU dan Muhamadiyah.
Mereka juga merusak tatanan berbangsa seturut ide dan gagasan mereka. Militer, birokrasi, legeslatif pun mereka kangkangi sehingga produk hukumnya mereka setir seturut kehendak mereka. Di mana mereka ini kata Orba Organisasi Tanpa Bentuk, mereka tidak mewadahi diri dalam sebuah kesatun apapun hanya dalam kesamaan ideologi.
Memang ada lembaga yang kemudian menjadi sebuah partai dan ormas, namun toh mereka tidak ada identitas khusus yang bisa dijadikan pijakan untuk menangani lebih lanjut. Namun bahwa di kar rumput sangat mungkin terjadi gesekan yang pada ranah yang identik.
Dulu, sebelum 80-an, paling tidak 90-an itu hidup guyup rukun tanpa ada kecemasan menyinggung agama, menyinggung etnis, atau merasa jangan-jangan dia tersinggung dan kita dilaporkan polisi karena  penistaan agama. Sama sekali tidak ada.
Persoalan ucapan selamat ini dan itu tidak menjadi polemik. Makam pun tidak ada kotak-kotak asli atau  bukan, agamamu apa. lha jenazah mosok beragama sih? Ini masalah yang baru timbul, bukan sejak lama dasarnya demikian.
Keberanian keluar dari cangkang kecemasan, membuka wawasan dengan seluas-luasnya. Kebiasaan membaca, bermedia sosial bukan untuk mencari musuh, namun untuk memelihara persaudaraan. Saya baru saja membeli buku Gus Mus dan almarhum Gus Dur, saya belajar kemanusiaan dari kedua beliau. Apakah kadar iman saya berkurang? Saya yakin  tidak.
Saya makin Katolik ketika saya membaca buku-buku lainnya. Saya juga membaca buku Buddhis dalam Cacing dan Kotoran Kesayangannya. Humaniora banget, dan menemukan kesamaan, kesatuan bahwa ada yang kita tuju bersama yaitu Tuhan. Apapun sebutannya.
Perlu keberanian keluar dari kungkungan yang membelenggu, selalu curiga, khawatir, dan cemas bahwa pihak lain adalah musuh. Akan berkurang kadar  imannya. Iman itu hanya Tuhan yang tahu, mengapa harus takut hanya karena suara adzan atau melihat salib?
Hidup bersama itu pasti ada perbedaan, menemukan persamaan itulah kualitas hidup. Politik dan  politikus brengsek jangan izinkan merusak bangsa ini.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H