Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penolakan Slamet dan Perilaku Toleran

3 April 2019   09:43 Diperbarui: 3 April 2019   10:18 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu caranya adalah, kenalilah saudaramu, cintailah mereka seperti engkau mencintai diri sendiri. Tembok pemisah karena orang cenderung egois, cinta diri yang berlebih-lebihan, dan memiliki perasaan tidak aman, pihak lain sebagai ancaman.

Mengapa model pemisahan menilai pihak lain sebagai liyan itu demikian kuat dan makin menggejala akhir-akhiri ini?

Sebenarnya akan banyak ditemui perihal aturan seperti yang dialami Keluarga Slamet ini, karena merasa adat timur yang memegang tradisi ngalah dhuwur wekasane, termasuk saya yang nggugemi hal itu dengan ketat, menjadikan hal demikian marak dan merajalela. Apalagi ketika sudah berbicara dan melibatkan politis dan gerakan fundamentalis.

Jika merujuk pada buku Ilusi Negara Islam Indonesia hal-hal ini sebenarnya jauh-jauh hari sudah memberikan peringatan akan adanya bahaya lebih besar karena berbagai indikasi perilaku yang ada. Siapa saja disebut, model gerakannya dinyatakan dengan gamblang. Bagaimana mereka merongrong NU dan Muhamadiyah.

Mereka juga merusak tatanan berbangsa seturut ide dan gagasan mereka. Militer, birokrasi, legeslatif pun mereka kangkangi sehingga produk hukumnya mereka setir seturut kehendak mereka. Di mana mereka ini kata Orba Organisasi Tanpa Bentuk, mereka tidak mewadahi diri dalam sebuah kesatun apapun hanya dalam kesamaan ideologi.

Memang ada lembaga yang kemudian menjadi sebuah partai dan ormas, namun toh mereka tidak ada identitas khusus yang bisa dijadikan pijakan untuk menangani lebih lanjut. Namun bahwa di kar rumput sangat mungkin terjadi gesekan yang pada ranah yang identik.

Dulu, sebelum 80-an, paling tidak 90-an itu hidup guyup rukun tanpa ada kecemasan menyinggung agama, menyinggung etnis, atau merasa jangan-jangan dia tersinggung dan kita dilaporkan polisi karena  penistaan agama. Sama sekali tidak ada.

Persoalan ucapan selamat ini dan itu tidak menjadi polemik. Makam pun tidak ada kotak-kotak asli atau  bukan, agamamu apa. lha jenazah mosok beragama sih? Ini masalah yang baru timbul, bukan sejak lama dasarnya demikian.

Keberanian keluar dari cangkang kecemasan, membuka wawasan dengan seluas-luasnya. Kebiasaan membaca, bermedia sosial bukan untuk mencari musuh, namun untuk memelihara persaudaraan. Saya baru saja membeli buku Gus Mus dan almarhum Gus Dur, saya belajar kemanusiaan dari kedua beliau. Apakah kadar iman saya berkurang? Saya yakin  tidak.

Saya makin Katolik ketika saya membaca buku-buku lainnya. Saya juga membaca buku Buddhis dalam Cacing dan Kotoran Kesayangannya. Humaniora banget, dan menemukan kesamaan, kesatuan bahwa ada yang kita tuju bersama yaitu Tuhan. Apapun sebutannya.

Perlu keberanian keluar dari kungkungan yang membelenggu, selalu curiga, khawatir, dan cemas bahwa pihak lain adalah musuh. Akan berkurang kadar  imannya. Iman itu hanya Tuhan yang tahu, mengapa harus takut hanya karena suara adzan atau melihat salib?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun