Siapa tidak kenal Amien Rais, akademisi jempolan, politikus kelas tinggi, pendiri partai politik, punggawa gerakan '98, dan juga capres era reformasi. Aksi-aksi politisnya cukup briliant, meskipun ia sendiri tentu kecewa tidak sebagaimana idealnya.
Era 98, di mana posisi Soeharto mulai tidak lagi sekuat yang lalu-lalu, namanya makin berkibar. Tidak salah ketika banyak adat timur tidak suka mengangkat diri, ia sering disbut tokoh atau bahkan panglima reformasi. Â Wajar itu belum tentu benar dan demikian adanya.
Kisah mantra saktinya mengantar pada posisi ketua MPR, di mana era itu posisi MPR sangat kuat. Jelas bukan yang dirindukan dan diidamkan, namun cukuplah, paling tidak malah membuat semakin banyak rival yang mengerak.
Kehilangan mantra sakti kemungkinan karena beberapa hal berikut.
Persoalan 98 melibatkan Yusril, Gus Dur, dan Megawati. Yusril jelas waktu itu secara administratif yang paling mungkin dan lengkap. Namun malah Gus Dur dan Megawati yang maju untuk voting. Dan di sana Mega sebagai partai pemenang pemilu kalah. Â Pemerintahan berjalan setengah jalan dan kemudian ada lagi ontran-ontran.
Megawati naik menggantikan Gus Dur yang dipilih MPR juga. Perang dingin di antara ketiganya cukup lama terjadi. Hubungan yang tidak lagi sama tentunya. Cukup sangat wajar.
Usai gagal dalam pencalonan, cukup diam selama sepuluh tahun masa pemerintahan SBY. Entah mengapa begitu riuh rendahnya kembali suara Amien Rais ketika prapenyalonan Jokowi. Apalagi selama hampir lima tahun pemerintahan Jokowi. Pernyataan dan perkataannya jauh dari mantra seorang sepuh dalam banyak bidang yang ia pakarnya itu.
Sebelum masa puncak pilpres sudah mengatakan dikotomi partai Allah dan  setan dan dengungan yang diulang-ulang untuk mendelegitimasi pemerintah, khususnya Jokowi berkaitan dengan kualitas keagamaannya. Cukup lucu ketika menilai partai-partai bala-nya itu sebagai partainya Tuhan, ia lupa nazar untuk jalan Jogya-Jakarta. Ini soal mendasar bertanggung jawab pada pernyataannya.
Untung ada kisah oplas yang terbongkar, ia jadi cukup pendiam, dan tidak banyak ulah. Kalau tidak salah hanya dua kali berbicara dan keduanya tidak cukup bergaung luas. Tidak banyak ungkapannya yang mendapatkan porsi perhatian dan pemberitaan.
Pertama mengenai adanya banyak gendruwo di hotel. Entah apa maksudnya, toh tidak menjadi banyak  fokus perhatian dan pemberitaan. Level seorang tokoh, tetapi berbicara ngelantur dan tidka berkualitas seperti ini. yo pantes kalau makin hilang dari peredaran.
Kedua, soal akan ada people power bukan ke MK jika kalah dalam pilpres mendatang. Ini tanpa gaung yang berarti juga. Hanya sebuah riak kecil dari anak yang merasa kehilangan mainan favoritnya yang sudah ketinggalan zaman.
Reputasi Amien jauh dari kapasitasnya sebenarnya. Ini sangat miris. Bagaimana ia hancur bukan karena lawan dan pihak lain yang menggerogoti, namun karena pilihannya di dalam menyalurkan hasrat dan kehendak politik yang tidak semestinya.
Paling fenomenal jelas janji jalan Jogja-Jakarta jika Jokowi menang itu. Itu ungkapan paling membuatnya hilang muka dan kepercayaan. Terlalu jemawa di dalam kalkulasi politik, ya wajar makin tenggelam dengan era baru yang tidak bisa ia ikuti dengan semestinya.
Persitiwa Mega-Gus Dur dan Yusril menjadi acuan bagaimana sikapnya di dalam menjalankan amanat sebagaimana partai yang ia bidani. Amanat tidak bisa ia pegang dengan semestinya. Mempermainkan jabatan presiden dan pribadi yang ada di sana.
Ngangkangi PAN secara berlebihan. Tetap kendali ada dalam tangannya, ketum berganti akan sama saja. Nyata di dalam pilpres akan seperti ini, pemerintahan mau, tapi sikapnya bersama oposisi. Mendua paling parah pada periode ini ya hanya PAN, dan itu kelihatan  banget kualitasnya. Beda dulu ada Golkar dan PKS, tidak begitu kelihatan.
Reformasi itu menggulingkan rezim KKN, namun ternyata ia juga pelaku ketika periode ini semua anak-anaknya maju menjadi caleg di berbagai jenjang dalam satu partai. Kualifikasi pun tidak cukup menjanjikan selama ini. belum lagi reputasinya di dalam menyikapi isu-isu politik.
Oplas Ratna Sarumpaet menjadi titip  kritis kualitas Amien ketika ia teriak dengan lantang soal pemerintah dan terbukti tidak demikian. Panggilan kepolisian membuatnya ciut nyali dan menjadi jauh lebih pendiam. Makin kelihatan reputasi dan kapasitasnya tidak senyaring suaranya ketika tuding sana tuduh sini itu.
Di balik jadi diamnya, orang awam bisa berpikir wah berarti ada apa-apa di dalam, sehingga jadi pendiam seperti ini. Susah melihat jika tidak ada "gertakan" yang cukup telak, kog jadi pendiam demikian.
Satunya kata dan  perbuatan itu dari hari ke hari makin jauh. Selalu mengaitkan kepentingan politiknya dan kelompoknya dengan istilah agama, perang badar, partai Allah dan partai setan, namun melarang pihak lain ketika ada yang demikian. Mau enaknya sendiri.
Suara yang dinyatakan makin kelihatan warnanya, kualitasnya, dan sering tidak memberikan pendidikan politik bagi bangsa ini. Ya itu  hanya teriakan orang di tepi lapangan karena pemain uzur yang sudah tidak lagi bintang, namun masih merasa bintang,
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H