Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Infrastruktur, Tol Laut-Udara, Tol Langit, dan Perlunya Tol Hati-Jiwa

29 Maret 2019   07:25 Diperbarui: 29 Maret 2019   07:43 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Infrastruktur, Tol Laut-Udara, Tol Langit, dan Perlunya "Infrastruktur" Hati-Jiwa

Dalam  kampanye pemilihan presiden 2014 lalu, Jokowi mewacanakan tol laut berkaitan dengan kali itu sedang hebohnya harga daging sapi yang begitu tinggi. Padahal di darah Nusa Tenggara harga komoditi tersebut relatif rendah. Persoalan adalah transportasi dan distribusi yang menjadi mahal.

Ide membangun dan membuat tol laut itu ditertawakan karena konsepnya adalah tol itu jalan, padahal semata istilah untuk kapal yang mondar-mandir ke seluruh Indonesia, untuk mengangkut barang di satu pulau ke pulau lain yang membutuhkan.

Apa yang dibutuhkan selain alat yaitu kapal adalah pelabuhan yang menunjang untuk aktifitas bongkar muat yang lebih besar lagi. Dan itu sudah banyak dibuka pelabuhan baru dan tentunya jalur darat pun perlu dibuka banyak akses sehingga semua bisa terhubung dan menjadi satu kesatuan.

Dalam program kerjanya, pemerintahan Jokowi-JK, menempatkan infrastruktur sebagai sebuah prioritas penting. Namun pembahasan infrastruktur darat tidak perlu dibahas lebih jauh karena itu sudah berkali-ulang menjadi bahan tulisan baik pro ataupun kontra. Mau jalan tol trans Jawa, Sumatera, Papua, bendungan, dan banyak lagi. Mau dikatakan rakyat tidak makan beton atau jalan, tentu itu tidak menjadi yang utama.

Tol udara pun diupayakan. Daerah Indonesia yang luas, banyaknya kepulauan dan pulau, ada banyak daerah yang belum tersentuh dengan transportasi baik darat ataupun laut. Nah untuk itu perlu adanya sarana lain, yaitu transportasi udara. Perlu bandara perintis untuk menjembatani kesulitan itu dua hal yang diperlukan, landasan yang minimal untuk pesawat tertentu dan juga pesawat kapasitas khusus.

Negara hadir bukan hanya di Jawa-Sumater-Bali semata, seluruh Indonesia. Negara harus hadir dan ada di semua pelosok negeri, dan itu nyata bukan ilusi saja. Dan memang masih banyak yang masih kurang dan perlu waktu dan beaya tentunya.

Kini dalam perhelatan yang sama, periode 2019-2024 menghentak dengan istilah tol langit. Jangan bayangkan jalan tol di udara, namun itu adalah sebutan untuk jaringan internet untuk seluruh wilayah Indonesia. Kesulitan mungkin berbicara ketika hidup di Jawa apa untungnya.

Di luar Jawa, bahkan di dekat Jawa sekalipun jaringan ponsel saja masih banyak yang susah, apalagi jika yang dibicarakan internet. Padahal ke depan internet akan menjadi punggawa dalam banyak hal. Bagaimana mengirimkan data perlu erhari-hari karena jalan darat, laut, dan udara tidak ada, padahal dengan internet semua sudah terwadah, ingat soal data bukan barang fisik.

Pengawasan dan mengurus segala sesuatu akan semakin mudah, cepat, dan efisien di seluruh Indonesia, bukan Jawa semata. Republik Indonesia, bukan Republik Jawa. Upaya itu sudah dicoba dan dilakukan. Pemerataan menjadi sebuah kenyataan.

Tol atau infrastruktr hati.

Menarik sebenarnya bangsa ini ketika hari raya keagamaan libur, memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan ibadah dan sedikit bersenang-senang. Tidak ada agama yang menerima halangan untuk merayakan ritual  keagamaannya.

Pun alam ibadah wajibnya Minggu, atau Jumat, semua tempat ibadah penuh sesak, macet di mana-mana ketika jam ibadah itu bubaran. Sangat membanggakan. Aktivitas keagamaan lain pun demikian. Pengajian  bagi yang Muslim, menutup jalan raya pun biasa. Atau Novena dan peziarahan bagi yang Katolik di mana-mana ramai. Ini membanggakan.

Ziarah tanah suci masing-masing agama marak, laris, dan menggiurkan. Namun tidak mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Pada sisi lain, miris, mengerikan, ketika maling pun dianggap rezeki dari Tuhan yang tidak boleh ditolak. Kala kena OTT KPK mengaku itu apes, bukan menyesal karena malingnya namun malah menuding pihak lain sebagai pelaku kejahatan, perilaku tidak adil, kriminalisasi, dan sejenisnya.

Dulu, kisaran sepuluh tahun lalu, kejahatan luar biasa hanya tiga, korupsi, terorisme, dan narkoba nampaknya kini perlu keempat, yaitu kejahatan hati yang sangat marak saat ini, nyinyir, hoax, fitnah, dan sikap tidak bertanggung jawab, serta caci maki.

Lihat bagaimana media sosial, bahkan kini juga mulai media arus utama menyajikan caci maki secara vulgar, apalagi media elektronik. Miris kadang tokoh agama pun merasa tidak risih dengan itu semua. Bayangkan bagaimana menyeru nama Tuhan sekaligus mengutuk ciptaan dalam satu tarikan nafas yang sama.

Caci maki seolah dianggap darasan doa dan puisi yang indah, mau dibawa ke mana negeri ini ketika model demikian menjadi tabiat, gaya hidup, dan dinilai wajar-wajar saja. Pengalaman ketika di sebuah media, ada caci maki, saya protes, dan pengelola hanya mengatakan kan biasa, teman lain banyak.

Bukan biasa, saya tidak mau bangsa ini hidup dengan caci maki, fitnah, memutarbalikan fakta, dan menggunakan semua hal demi kekuasaan dan uang, untuk apa ibadah, aktivitas keagamaan apapun itu, namun buahnya jauh dari harapan.

Bagaimana pelacuran hingga ratusan juga malah menjadi konsumsi publi berbulan-bulan. Dan nyaman-nyaman saja berbicara itu, bahkan hingga tindakan dalam video pun marak dilihat dan dibagikan. Ke mana adat dan katanya agama dan Pancasila itu ada dalam jiwa.

Kesatuan perilaku dan perkataan menjadi penting. Jangan heran orang bisa menyitir ayat suci demi membenarkan aktivitas maling dan kejahatannya. Ini soal hati dan jiwa yang memang kerdil, munafik, dan tidak punya malu.

Menipu bangsa, dunia, sesama itu sangat mungkin. Mau berbohong dengan cara apapun itu sangat bisa, namun apa bisa membohongi Tuhan? Bagaimana aksi keagamaan namun di baliknya adalah kejahatan luar biasa yang hendak dilakukan. Dan itu ujungnya adalah uang dan kekuasaan duniawi.

Dasar baiknya sudah ada, aktivitas keagamaan sedikit banyak memberikan harapan dan dampak, hanya perlu pembenahan, sehingga tidak semata ritual dan hafalan semata, namun juga hingga menjadi gaya hidup, mengubah kebiasaan, tabiat, dan malu berbuat jahat, termasuk mencaci.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun