Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Infrastruktur, Tol Laut-Udara, Tol Langit, dan Perlunya Tol Hati-Jiwa

29 Maret 2019   07:25 Diperbarui: 29 Maret 2019   07:43 516
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menarik sebenarnya bangsa ini ketika hari raya keagamaan libur, memberikan kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan ibadah dan sedikit bersenang-senang. Tidak ada agama yang menerima halangan untuk merayakan ritual  keagamaannya.

Pun alam ibadah wajibnya Minggu, atau Jumat, semua tempat ibadah penuh sesak, macet di mana-mana ketika jam ibadah itu bubaran. Sangat membanggakan. Aktivitas keagamaan lain pun demikian. Pengajian  bagi yang Muslim, menutup jalan raya pun biasa. Atau Novena dan peziarahan bagi yang Katolik di mana-mana ramai. Ini membanggakan.

Ziarah tanah suci masing-masing agama marak, laris, dan menggiurkan. Namun tidak mengubah keadaan menjadi lebih baik.

Pada sisi lain, miris, mengerikan, ketika maling pun dianggap rezeki dari Tuhan yang tidak boleh ditolak. Kala kena OTT KPK mengaku itu apes, bukan menyesal karena malingnya namun malah menuding pihak lain sebagai pelaku kejahatan, perilaku tidak adil, kriminalisasi, dan sejenisnya.

Dulu, kisaran sepuluh tahun lalu, kejahatan luar biasa hanya tiga, korupsi, terorisme, dan narkoba nampaknya kini perlu keempat, yaitu kejahatan hati yang sangat marak saat ini, nyinyir, hoax, fitnah, dan sikap tidak bertanggung jawab, serta caci maki.

Lihat bagaimana media sosial, bahkan kini juga mulai media arus utama menyajikan caci maki secara vulgar, apalagi media elektronik. Miris kadang tokoh agama pun merasa tidak risih dengan itu semua. Bayangkan bagaimana menyeru nama Tuhan sekaligus mengutuk ciptaan dalam satu tarikan nafas yang sama.

Caci maki seolah dianggap darasan doa dan puisi yang indah, mau dibawa ke mana negeri ini ketika model demikian menjadi tabiat, gaya hidup, dan dinilai wajar-wajar saja. Pengalaman ketika di sebuah media, ada caci maki, saya protes, dan pengelola hanya mengatakan kan biasa, teman lain banyak.

Bukan biasa, saya tidak mau bangsa ini hidup dengan caci maki, fitnah, memutarbalikan fakta, dan menggunakan semua hal demi kekuasaan dan uang, untuk apa ibadah, aktivitas keagamaan apapun itu, namun buahnya jauh dari harapan.

Bagaimana pelacuran hingga ratusan juga malah menjadi konsumsi publi berbulan-bulan. Dan nyaman-nyaman saja berbicara itu, bahkan hingga tindakan dalam video pun marak dilihat dan dibagikan. Ke mana adat dan katanya agama dan Pancasila itu ada dalam jiwa.

Kesatuan perilaku dan perkataan menjadi penting. Jangan heran orang bisa menyitir ayat suci demi membenarkan aktivitas maling dan kejahatannya. Ini soal hati dan jiwa yang memang kerdil, munafik, dan tidak punya malu.

Menipu bangsa, dunia, sesama itu sangat mungkin. Mau berbohong dengan cara apapun itu sangat bisa, namun apa bisa membohongi Tuhan? Bagaimana aksi keagamaan namun di baliknya adalah kejahatan luar biasa yang hendak dilakukan. Dan itu ujungnya adalah uang dan kekuasaan duniawi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun