Membaca buku Pesan Islam Sehari-hari-nya Gus Mus dalam salah satu artikelnya beliau menyoroti pembangunan jiwa dan badan. Menyitir WR Supratman dalam lagu Indonesia Raya beliau mengatakan penting membangun jiwa dan kemudian badannya.
Senyampang mempersiapkan inspirasi tulisan dari buku tersebut, ada rekan yang mengirimkan bahwa rekannya mengeluh ketika menghadiri pengajian ada anjuran bahkan larangan golput, wah bagus, tetapi ternyata berikutnya lucu ketika mengharuskan pemilih satu dengan memfitnah pemilih lainnya.
Jadi ingat ketika ada rekan Kompasianer mengajak berdiskusi mengenai tabiat fitnah yang mendera Suriah. Â Dan kog pola yang sama sedikit banyak akan makin menjadi gejala umum di dalam gelaran pilpres kali ini.
Cukup menarik karena mengapa fitnah demikian menjadi gejala umum terutama akhir-akhir ini. Miris ketika fitnah, distorsi fakta, dan pengabaikan kebenaran itu dengan masif digaungkan melalui media, baik cetak, elektronik, dan  juga media sosial, serta itu adalah konsumsi  dominan warga negara secara mayoritas.
Dalam salah satu pernyataannya cawapres KH Makruf Amin mengatakan, pemerintahan Jokowi-JK telah fokus membangun fisik dan raga bangsa ini dengan banyaknya capaian infrastruktur yang membanggakan. Itu penting, dan saatnya kini membangun karakter bangsa. Jiwa bangsa diperkuat. Setuju.
Rendahnya budaya literasi.
Suka atau tidak, pendidikan belum mengantar anak bangsa pada budaya kritis yang esensial. Sekian lama ujian nasional sebagai satu-satunya tolok ukur pendidikan, dengan pilihan ganda yang tidak perlu belajar, membuat masyarakat menjadi lemah. Orang bisa berhitung kancing baju, membeli kunci jawaban karena ringkasnya jawaban, hanya A,B,C,D, atau E selesai. Â Proses belajar menjadi lemah dan seolah tidak penting.
Lemahnya budaya baca menjadi bekal enggan belajar dan lebih menikmati visual melalui media televisi. Menjadi masalah serius, ketika media elektronik dimanfaatkan menjadi corong kepentingan politik dengan bias informasi karena memang disengaja. Penyembunyian fakta dan data sesuai kepentingan sepihak.
Catatan berikutnya, kecenderungan lemah literasi akan bertanya pada lingkungan sekitarnya. Ada dua hal miris yang bisa terjadi. Pertama akan  bertanya pada lingkungan yang sama kemampuannya, dalam arti sama-sama rendah pemahaman politiknya. Ini ujung-ujungnya adalah orang buta menuntun orang buta.
Kedua, akan ada datang "pahlawan kesiangan" yaitu para penebar kebohongan yang memang sudah mengintai di pojokan untuk mendapatkan mangsa empuk. Beberapa kali sudah ditangkap pelaku kampanye hitam dengan bukti fitnahan mereka.
Agama dan dunia hiburan masih sebatas hitam dan putih.
Momentum tepat karena dengan demikian, orang melihat apa yang disampaikan media sudah tentu baik, dan yang dikatakan buruk pasti buruk. Pemahaman niai agama yang masih maaf kanak-kanak, semua dilihat dalam kaca mata biner semata.
Padahal dalam politik semua serba mungkin, pagi hitam, sore menjadi hijau dan malah putih itu sangat biasa, apalagi politik abai etika ala bangsa ini. Mendasarlah ketika kejahatan saja masih dibela, dijadikan bahan untuk mendapatkan kemenangan.
Pemahaman agama masih kisaran hafalan dan belum pengamalan, akhirnya banyak pribadi jatuh pada kondisi di mana orang tidak bisa membedakan mana baik, mana buruk, mana benar-benar baik, atau hanya sekadar kamuflase baik dan benar. Ini miris karena bangsa yang mengaku religius, bangga akan penunya rumah-rumah ibadah, dan sejenisnya, namun masih naif membaca kepribadian calon pemimpinnya.
Menangkal fitnah dan tabiat politik setengah kebenaran
Menjadi penting, ketika masifnya para pelaku politik hitam yang menjual identitas, mengedepankan isu dengan menyembunyikan bagian utuh kebenarannya, serta masifnya penggunaan tempat ibadah untuk menebarkan fitnahan yang ujung-ujungnya adalah maaf dan ketika elit ditangkap penegak hukum kriminalisasi.
Penegakan hukum memang pilihan berat yang harus dilakukan pemerintah, di tengah dua arus besar waton sulaya, di mana masa lalu demikian bebasnya orang berlaku apapun, termasuk melanggar hukum. Kadung nyaman orang menjadi enggan berubah dan bebenah untuk taat hukum.
Sisi lain, adanya politikus minim prestasi yang memanfaatkan celah untuk mendeligitimasi pemerintah dan penegak hukum dengan cap kriminalisasi. Padahal penjahat dan pembuat pelanggaran hukum, bukan dibuat-buat. Ini serangan kepada pemerintah yang cukup serius, jangan dipandang sebelah mata.
Sosialisasi dengan baik, apa yang benar dan baik itu secara tidak kalah masifnya. Ini bisa melalui apa saja, tidak perlu takut kata-kata nyinyir dari kubu sebelah yang memang bisanya itu. Sahih bahwa kementrian ini dan itu telah susai dengan target, melampaui, atau catatan itu mengapa. Apa salahnya?
Hal ini masih jarang dilakukan dan seolah kementrian dan lembaga itu takut pada gertakan oposisi. Miris sebenarnya, sehingga mereka merajalela dengan fitnahan yang tidak berdasar sama sekali itu. Hal penting yang terabaikan karena takut nyinyiran sebelah.
Pendidikan memang tidak bisa serta merta karena orientasi pendidikan yang kacau balau, apalagi dalam salah satu eposide terlalu politis dan agamis masuk di sana. Ini masih perlu banyak waktu dan perjuangan dan itu cukup panjang dan tak kenal lelah.
Hiburan sehat dan berdasarkan nilai-nilai berbangsa seolah cukup dengan istilah dan pakaian agamis selama ini juga ikut terlibat di dalam kacaunya hidup bersama. Bagaimana bisa fitnah, kejahatan merajalela, namun tidak ada tindakan hukum yang semestinya. Jangan ini dianggap sepele, hiburan tidak sehat juga berpengaruh pada kejiwaan anak bangsa.
Mudahnya pelak kejahatan menyatakan khilaf, menyesal, dan menangis, tidak jauh beda dengan aksi politikus yang suka bicara demikian. Mosok bapak mengaku khilaf memerkosa anak kandungnya tapi tahunan dan berkali-kali.
Peran kyai kampung mendapatkan posisi penting, apalagi di 2009, sudah ada pernyataan resmi dari NU dan Muhamadiyah dalam buku Ilusi Negera Islam, kalau banyak masjid sudah diambil alih pengelolaannya oleh gerakan fundamentalis. Maka tidak jarang akan terdengar pengajian, ceramah, atau aktivitas keagamaan namun kental nuansa politisnya.
Kyai kampung yang berkharisma, didengar jemaat dan rakyat menjadi pembeda karena segala fitnah dan caci maki tentu jauh dari reputasi level ini. Caci maki dan  fitnah itu dilakukan oleh para aktivis politik yang menyaru agama. Jangan sensi dan kemudian mengatakan pelecehan agama, ini serius soal pemahaman dan pemisahan agama dan politik.
Pengajaran agama bisa sampai pada penghayatan dan pengamalan, sehingga orang akan malu memfitnah, mencaci maki, dan memutarbalikkan fakta jelas bukan berdasarkan ajaran agama tentunya. Â Ilmu agama yang sudah menjadi jalan hidup akan membawa orang untuk berlaku lebih humanis, penghargaan akan kemanusiaan bukan labelnya, apalagi cuma bajunya yang sama semata.
Jangan sampai bahwa keadaan porak poranda Suriah terjadi di sini. Ketika awalnya adalah fitnahan, sikap saling curiga yang terus menerus digosok-gosok itu. Â Pengalaman negara lain, tidak perlu harus dialami untuk belajar. Â Pererat persatuan untuk negara yang lebih baik dan bersatu. Miris bahwa hari ke hari malah saling sikut, saling sikat hanya karena asumsi dan perbedaan sudut pandang semata.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H