Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Golput 1997 dan 2019, Konsistensi Peran Kenabian Gereja Katolik

22 Maret 2019   09:00 Diperbarui: 22 Maret 2019   09:57 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Gereja universal pada pertengahan tahun 60-an juga menyatakan hal yang identik dalam Gaudium et Spes, Kegembiraan dan Harapan, duka  dan kecemasan dunia adalah duka dan kecemasan Gereja, terjemahan bebas kalimat pembuka dari Konstitusi Pastoral Gereja Universal. Apapun yang terjadi pada dunia itu adalah juga bagian utuh bagi Gereja.

Sikap dan pemikiran Mgr Soegija mendapatkan konkretisasi dari Gereja Universal. Sama, sebangun, bahkan identik, di mana Gereja dan negara itu secara pemerintahan terpisahkan, namun dalam suka dan duka itu sama.

Golput sebagai sarana protes, perintah kenabian mendapatkan momentum karena memang Gereja tidak melihat pemilu 1997 memberikan harapan, manfaat, dan kegunaan bagi Gereja dan juga bangsa dan negara. Dan di sanalah dukungan moral bahwa tidak memilih itu juga pilihan dan bukan dosa.

2019, salah satu tokoh Gereja Rm. Magnis Suseno, seorang Jesuit kelahiran Jerman, namun begitu mendalam mengenal Indonesia memberikan anjuran yang bertolak belakang dengan 1997. Golput bukan tindakan bijaksana. Kondisi yang memang jauh berbeda dengan era Orba yang lalu.

Mengapa golput kini merupakan pilihan buruk?

Kedua calon ada, dan ada perbedaan secara jelas di sana. Pertanggungjawaban sebagai warga negara adalah memilih. Mau memilih 01 atau 02 sah-sah saja. Hanya tidak boleh memilih keduanya, ingat keduanya, jangan sensi lagi. Ingat fungi demokrasi dalam hal ini adalah pemilu adalah mencegah yang terburuk berkuasa.

Jika ada pernyataan bahwa tidak ada yang baik di antara keduanya itu adalah omong kosong, karena keduanya memiliki rekam jejak masing-masing dan konteksnya jelas di mana mereka memiliki kekurangan dan kelebihan. Jelas kog di antara mereka seperti apa, jadi tidak ada alasan untuk tidak memilih di antara keduanya.

Golput sebagai pilihan benar tidak ada yang salah, namun menjadi salah adalah ketika itu memaksa orang  untuk ikut pilihannya untuk tidak memilih. Apalagi malah menjelek-jelekan kedua kandidat, tidak ada calon yang sempurna, namun toh ada yang lebih baik kog.

Potensi disalahgunakan kertas suara kita yang memilih golput juga masih cukup besar karena reputasi sikap bertanggung jawab  masih susah diharapkan. Lebih cenderung main uang dan uang mahakuasa masih ada. Mengurangi risiko besar kejahatan lebih besar untuk tidak golput.

Berbeda dengan 1997 ketika calonnya ya akan itu lagi itu lagi, padahal tidak ada daya dan kemampuan untuk menyingkirkan, kecuali dengan "boikot". Dan itu tidak bisa tidak, karena toh ketiga parpol juga hanya simbol semata.

Kini, dengan besarnya angka golput berpotensi untuk terjadinya deligitimasi hasil pemilu. Jauh lebih ribet dan riuh rendah sangat tidak bermanfaat. Apa iya bangsa yang sudah menapak jauh ke depan harus mundur demi hasrat politikus minim prestasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun