Golput 1997 dan 2019, Konsistensi Peran Kenabian Gereja Katolik
Pertama-tama perlu dijelaskan dulu makna kenabian, biar tidak malah kacau hanya soal terminologi ini. Kenabian dalam  Gereja itu dapat dimaknai sebagai sebuah bentuk nasihat kebajikan bagi hidup bersama. Arti nabi secara sangat luas, bukan nabi sebagaimana Kitab Suci nyatakan.
Kedua, Gereja Katolik tidak pernah berpolitik praktis dalam arti mendukung ini dan itu dengan secara gamblang, mengapa? Karena itu ranah duniawi dan kebebasan umat untuk menggunakan hak pilihnya, namun tetap memberikan pendampingan, memberikan masukan, dan juga perhatian sepenuhnya bagi keberlangsungan hidup bersama itu lebih baik.
Para imam-pastor, rama, termasuk uskup dan diakon tertahbis selaku hirarkhi juga tidak boleh ikut terlibat aktif dalam politik praktis. Ingat dalam imamat jabatan resmi, dalam mimbar Ekaristi mereka tidak boleh menyatakan dukungan ini dan jangan itu. itu terlarang. Namun sebagai pribadi mereka tetap boleh memiliki afiliasi dukungan. Toh mereka akan tetap tidak secara publik menyatakan itu dari pada menjadi ribet.
Dua hal itu penting agar menjaadi pemahaman bersama dul konteks di mana batasan itu menjadi jelas dan bukan malah melebar ke mana-mana tanpa tahu yang dimaksud. Apalagi malah menjadi sok tahu dan malah lebih tahu dari pada orang Katolik sendiri.
Surat Gembala Prapaskah 1997- SGP 1997
Surat Gembala Prakaskah yang kemudian disebut dengan SGP 1997 adalah sebuah surat yang berisi nasihat, bimbingan, dan dukungan dalam menyongsong Prapaskah, masa di mana menjelang masa puasa bagi umat Gereja Katolik. Â Sebenarnya tidak hanya berbicara mengenai pemilu dan golput semata. Jauh lebih banyak adalah mengenai keprihatinan Gereja Indonesia berkaitan dengan aksi puasa.
Berkenaan dengan masa pemilu yang menjelang, Gereja mengeluarkan SGP dengan adanya point yang membicarakan politik dan pemilihan. Dan itu jauh lebih menjadi gaung, penting, dan mengemuka. Golput dan istilah ini mulai digaungkan dan dikenal di masa Orba yang sangat ketat berpusat pada Soeharto semata.
Golput itu sebuah pilihan dan bukan dosa. Memilih untuk tidak memilih karena memang tidak ada pilihan yang cukup baik bagi hidup bersama. Keberanian Gereja ini memang membuat panas penguasa saat itu. Tudingan bahwa Gereja Katolik memainkan politik praktis, kecurigaan bahwa itu adalah kampanye terselubung, dan seterusnya terdengar nyaring.
Hal sensitif yang coba dinyatakan oleh Gereja dan pada koridor tugas mendasarnya, tidak ada yang salah dengan keputusan Kardinal Yulius waktu itu. momentum tepat, dan juga memang tugas serta kewajiban Gereja. Peran sebagai warga negara tidak lepas dan terpisah dari sebagai warga Gereja.
Mgr Soegija sebagai uskup pertama pribumi pernah memiliki slogan yang cukup menyentuh 100 % Katolik 100% Indonesia. Apa yang terjadi  pada bangsa ini juga merupakan bagian umat Katolik tidak bisa berpangku tangan dengan dalih karena Katolik.  Masa  pergerakan kemerdekaan yang sangat menyemangati bangsa muda yang perlu banyak energi dan dukungan.