Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Kekalahan Jokowi di Depan Mata

15 Maret 2019   09:00 Diperbarui: 17 Maret 2019   02:39 10066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kompas/wisnu widiantoro

Beberapa hasil survei merilis daftar pemenang yang hampir identik. Rasional sebenarnya melihat tidak ada cacat parah yang dilakukan pemerintah, dan juga presiden selak capres periode mendatang. Aneh jika malah hasil survei sebaliknya.

Tentu BPN harus menahan laju hasil survei itu sebagai sebuah potensi perusak konsentrasi, semangat, dan daya juang kadernya. Hasil buruk dan rendah tentu bisa menjadi masalah dan hambatan psikologis.

Salah satu hasilnya adalah rilis hasil survei internal dengan hasil kemenangan 48% berbanding 46%, tanpa keterangan lainnya. Hanya memberikan klaim kalau populasinya yang lebih tinggi dengan klaim angka 32 ribu lebih. Mengatakan kalau mereka mengambil sampel dari dapil hingga nasional.

Soal metode, sampel, dan apapun yang berkaitan dengan syarat-syarat ilmiah survei tidak dinyatakan. Apakah hasil ditentukan dulu, baru kemudian dicarikan sampel dan seterusnya juga tidak tahu. Itu pertanggungjawaban mereka sendiri.

Wapres Jusuf Kalla memberikan pernyataan cukup mengelitik ketika, ia mengatakan, kalau internal, mengapa tidak sekalian 100%. Respons bagus dengan pernyataan demikian. antara becanda dan juga sindiran cukup cerdas.

Jokowi sangat mungkin kalah dan sesuai dengan prediksi atau hasil survei mereka dengan melihat indikasi sebagai berikut;

Birokrasi yang enggan bekerja tentu suka dengan model pemerintahan lama yang beroreintasi pada proyek. Soal kinerja rendah toh tetap sampai pensiun akan tetap demikian. Kerja rendah dan hasil nol besar malah dapat promosi karena kedekatan dengan kelompok tertentu. Suap demi suap mulai dari rekruitmen hingga kenaikan pangkat.

Pun dalam dunia militer dan kepolisian, hampir identik, mereka bukan bekerja dengan prestasi, namun hanya berbekal KKN. Prestasi bisa dibeli dan itu menjadi gaya bekerja dan jenjang pangkat. Relasional dan uang menjadi penting dan utama.

Birokrat menengah atas itu sudah ngakik dengan hidup ala KKN dan uang sebagai fokus kinerja, bagaimana bisa dengan rela hati diubah dengan birokrasi berbasis kinerja dan prestasi. Kelompok ini sering membuat ulah dan memanaskan situasi dengan aneka cara.

Bisa dibaca kog dalam komentar, artikel, dan pernyataan, bagaimana mereka benci Jokowi, bukan mendukung pasangan 02. Mereka tidak suka dipaksa bekerja.

Pengusaha tamak dengan segala pat gulipat dan suap menyuap proyek tentu akan memilih pembangunan ala lampau. Tudingan kebocoran yang sangat fenomenal pada kampanye musim lampau, itu ada pada ranah ini.

Mark up anggaran, jauh lebih enak dan mendapatkan banyak semperan, dibandingkan dengan model proyek sekarang yang begitu banyak, namun mereka tidak lagi mendapatkan banyak "keuntungan" dari apa yang mereka lakukan.

Indikasi kemarahan mereka adalah, mereka berteriak kalau tidak ada manfaatnya pembangunan ini dan itu. Mereka kehilangan banyak dana melimpah yang biasa mereka peroleh. Potongan atau sunatan yang banyak demi kekayaan sendiri dengan mengorbankan kepentingan bangsa dan negara.

Mereka ini begitu banyak dampaknya jika tidak disadari karena bisa membuat warna dengan kekuasan mereka. Apalagi jika sudah berkolaborasi dengan politikus. Mereka bisa mengarahkan termasuk UU dengan membayar pembuat UU. Sudah sering terjadi dan itu susah kini.

Rakyat manja dan suka disuapi. Hal ini bisa dipanaskan dan dikipas-kipas oleh para politikus miskin prestasi dan mereka menggunakan kelompok ini sebagai sarana pemaksa dan penguat untuk mengatasnamakan rakyat kebanyakan.

Penyabutan subsidi BBM, listrik, dan juga penyeragaman atau satu harga BBM sangat mungkin dijadikan bahan untuk menjatuhkan pemerintah. Kelompok ini cukup banyak lho. Apalagi ketika mereka telah dipanaskan oleh para penguasa politik yang enggan bekerja.

Politikus enggan bekerja. Jelas kelompok cukup banyak. Mereka selama ini bekerja dengan memanfaatkan jabatan untuk mendapatkan keuntungan. Mereka menjual jabatan untuk keuntungan mereka. Menyuap dengan mengumpulkan uang dari para pengusaha dengan memberikan proyek atau UU dengan sesuai kepentingan mereka.

Termasuk dalam ranah ini, tentu politik uang dan mahar politik. Di mana untuk menjadi ini dan itu soal keuangan dan kekayaan akan menjadi yang utama. Konsekuensinya jelas adalah korupsi. Mencari balik modal ketika menjabat jadi apapun itu.

Kelompok radikalis dan fundamentalis yang berkamuflase dalam banyak hal. Kampanye ini dalam banyak berbagai elemen karena telah secara resmi dibubarkan. Mereka tetap akan terus menyoba untuk kembali dalam cara-cara yang pokoknya mendapatkan hasil.

Isu kriminalisasi ulama itu ujungnya adalah menebarkan ketakutan dan pemerintah itu lemah, pelaku ketidakadilan, musuh agama yang bisa dijatuhkan. Cukup masif apa yang ada adalah perilaku mereka yang makin terdesak, maka mereka menyoba membenturkan itu. fitnah bukan masalah.

Antiagama tertentu, nalar sehat dari mana yang bisa memercayai hal itu, toh sangat jelas agama capres dan cawapres 01, namun masih kog yang percaya. Dan itu perlu penanganan yang kuat dna jelas. Mengafirkan kelompok lain pun jadi gaya hidup kelompok ini.

Pelarangan pelajaran agama. Entah ide dari mana kebodohan luar biasa ini. Toh itu sudah terjadi dan banyak juga yang terpedaya dan percaya demikian. Logika dari mana sih bisa menerima nalar gagasan ini. termasuk larangan adzan sebagai panggilan ibadah.

Mengganti wapres terpilih dengan orang yang dicitrakan sebagai penista agama. Ini jelas spekulasi mengerikan karena bisa berabe dalam banyak hal dan terutama sentimen sektarian yang lebih kuat tercipta. Dan mereka masif membagikan dan mengulang untuk mencemari otak pemilih.

Deligitimasi KPU dan polisi. Polisi sudah ditabuhkan genderang bahwa mereka tidak netral tidak seperti TNI. Pelaku adalah anggota DPR-RI, dan ujung-ujungnya adalah hendak menurunkan tingkat kepercayaan kepada polisi. Sangat mungkin nanti akan membenturkan pemilih untuk melawan polisi yang dituding berpihak.

KPU dilemahkan dengan banyak gagasan dan tuduhan soal debat. Angkutan kotak suara berbau aseng, padahal jelas-jelas hanya angkutan, dulu tudingan kalau ada tujuh kontainer surat suara telah tercoblos. Ini entah pengalaman sendiri atau memang hanya mau merendahkan KPU? Keduanya sangat mungkin.

Kekalahan Jokowi di depan mata, jika para pelaku TKN diam saja karena merasa sudah mapan, survei mengunggulkan mereka dengan telak dan merasa di atas angin. Hal yang sangat mungkin terjadi. Melihat kinerja timses yang masih adem ayem, hal itu bisa terjadi.

Mau dipimpin pemimpin suka kekerasan, pemimpin penebar fitnah, dan juga tim yang hanya fokus menjatuhkan lawan, bukan memberikan janji visi dan misi lebih baik. Banyak hal cerdas yang tidak mereka olah, malah menuding ini dan itu.

Kepemimpinan itu usaha dan upaya kerja keras. Mudah sih dengan instan dan motong kompas dengan menerbarkan kekacauan. Merencanakan kerusuhan dan kegagalan dalam menjaga keamanan oleh pemerintah. Hal ini jelas bukan pemimpin, namun pecundang yang sok tenar dan merasa mampu memimpin.

Orang merasa mampu itu banyak, namun sedikit yang mampu merasa. Kualitas pemimpin itu yang tahu diri.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun