Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Sandi Kan Kembali, Mengapa dan Ada Apa?

10 Maret 2019   11:01 Diperbarui: 10 Maret 2019   11:10 1555
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anies tahu persis, 2024 itu kondisi masih terbuka untuk siapapun maju kontestasi presiden. Jika Sandi kali ini wapres, dia bisa berharap menjadi cawapres dan capres Sandi. Namun susah berharap menang, dia jelas lebih memilih Sandi keluar dari DKI-02 yang bisa menjadi "pesaing" untuk pilpres mendatang.

Sandi pun kog cenderung tidak yakin menang, sehingga masih membiarkan kursi itu untuk diambil kembali. Pilihan cerdik sih kemarin mundur, padahal bisa cuti, hitung-hitungan politik cukup jitu, soal kepantasan memang dipikirkan, kan biasa mereka abai soal satu itu.

Dari hal-hal tersebut, dapat dilihat

Fokus hanya pada kursi, satu lepas, berharap yang lebih gede, ketika itu lepas balik lagi. Akan terulang model demikian, dengan mengorbankan pembangunan daerah. Keberadaan warga dan daerah tidak menjadi pertimbangan.

Pendukung dan para pelaku utama di sana bersatu hanya kepentingan kelompok dan pribadi. Mana peduli dengan cita-cita pembangunan baik daerah dan nasional. Artinya yang ada itu demi keuntungan kelompok dan pribadi, merugikan pihak lain mana duli.

Rakyat hanya menjadi penyokong mereka, apapun bentuknya, lima tahun, atau lima tahun dua kali diingat dalam pilkada dan pilpres. Mosok pelaku dan kelompok model begitu masih saja dipercaya? Susah melihat mereka peduli akan pembangunan baik fisik apalagi mental.

Sikap pesimis dan abai akan etika menjadi jiwa mereka. Lihat bagaimana sudah memprediksikan akan balik lagi ketika kalah, bagaimana bisa orang maju berjuang namun masih ingat pulang saja. Sikap pesimis menjadi demikian kuat.

Abai etika jelas, benar bahwa politik memang susah untuk menjadi kawan abadi, namun toh masih lah perlu adanya etika, bukan membohongi dengan telanjang begitu. Lobi dan diplomasi iu penting, namun bukan dalam ranah jahat dan kebohongan dengan vulgar.

Apa yang terjadi di DKI Jakarta, jangan sampai menjadi model pula di tingkat nasional, nah satu cara yang baik adalah jangan sampai mereka memang dan menjadikan Indonesia nanti seperti Jakarta. Perebutan kursi terus menerus, sehingga banjir yang tidak pernah lagi, kini dirasakan rakyat Jakarta. Mosok mau mudik Lebaran macet lagi terjadi.

Jakarta ini bukti dan fakta konkret mereka hanya fokus merebut kekuasaan, ketika berkuasa tidak tahu apa-apa mau dibuat. Pinter berwacana dan indah, namun nol besar dalam aplikasi dan lagi-lagi malah mundur.  Miris bukan, mosok pembangunan keren begitu mau dibawa kembali ke zaman antah barantah.

Fakta di depan mata dan akan dipakai ke tingkat nasional. Kampanye sudah makin identik, pelaku juga sama, dan hasil juga tidak akan jauh berbeda jika masih saja terlena. Mau kembali ke zaman batu, di mana semua serba susah dan  memalukan begitu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun