Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Naik Kereta Umum dan Membuka Baju, Politik Elit Bangsaku

8 Maret 2019   08:20 Diperbarui: 8 Maret 2019   08:33 1651
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Makin dekat pemilu, grengseng pemilihan makin semarak. Masing-masing tebar pesona untuk menarik pemilih. Ada yang lucu, alamiah, culun, dan aneh-aneh. Boleh dan sah saja. Toh kampanye hitam pun bisa terjadi, dan seolah biasa saja. Semua berlomba menampilkan diri yang memiliki harapan agar bisa mendapatkan simpati dan kemudian memilih.

Dua kisah dalam waktu yang hampir bersamaan, kedua capres menampilkan pribadinya yang paling mendasar. Satu  capres naik kereta umum, di tengah  calon pemilihnya, bersama mereka berdiri, dan berdesakan sama dengan rakyatnya. Cukup natural, meskipun akan dan jelas telah ada ulasan bahwa itu adalah gawe besar karena seorang presiden akan mendapatkan pengawalan dan upaya pengamanan maksimal.

Sepakat dengan itu, dalam konteks bahwa hal itu pasti akan membuat banyak gawe yang luar biasa dari pada pengawal. Namun  bahwa itu sebuah kebiasaan baru di mana seorang presiden mau berada di tengah-tengah rakyatnya itu hal yang sangat berbeda dan baru. Banyak data dan fakta dengan mudah ditemui, bahwa itu belum pernah dilakukan presiden lain. konteks menjaid lebih riuh karena dilakukan oleh capres yang sedang masa kampanye.

Apakah ini luar biasa? Ada dua hal, iya, karena itu dilakukan di era modern Indonesia baru kali ini. sejatinya tidak akan menjadi luar biasa kalau pejabat negara ini bukan seolah pejabat negara penjajah yang merasa paranoid, ketakutan akan dipanah dari balik pohon seperti era Belanda. Atau ketakutan ala film Hollywood yang takut sniper dari gedung tinggi. Ini Indonesia, negara damai.

Sniper-nya, bukan dengan AK-47 atau bom, namun dengan ke-inyiyiran tanpa henti, fitnah hampir tiap hari, dan upaya untuk mengganti bukan dengan kekerasan, menikam di kerumunan, sejarah bangsa ini era modern tidak demikian. berbeda kisah Ken Arok tentunya. Jadi sebenarnya hal yang sangat wajar, hanya karena sekian lama hidup dalam alam pemimpin dan rakyat yang berjarak, jadi semua seolah hal besar.

Perilaku Pak Jokowi pun bukan hanya saat kampanye saja bersikap demikian. Ssejak menjadi walikota, gubernur, dan hampir lima tahun menjadi presiden sikapnya sama kog. Tidak ada yang baru, masih relatif sama. Pilihan tidak berjarak, ada di tengah-tengah rakyatnya, dan itu adalah kebanggaannya. 

Beberapa waktu lalu, ada anak dengan kebutuhan khusus memanggil dan langsung dibopongnya. Apakah itu upaya kampanye saja? Bukan, anak dengan kebutuhan khusus itu peka, tidak akan bisa diupayakan bentuk pengondisian dengan apapun caranya.

Jadi, apa yang dilakukan Jokowi itu pilihan yang memang dihidupi dari dirinya. Apa yang dilakukan keluar dari dlam hati nuraninya. Adanya kesatuan antara perilaku dan perkataannya. Kerendahan hati yang dihidupi bukan semata karena kepentingan kampanye semata. Konsistensi itu terpampang dengan baik dan bisa dilihat tidak ada kontradiksi di antara perilaku satu dengan lainnya.

Capres Buka Baju.

Dalam sebuah kisahnya Rama Mangun Widjaya mengatakan,

perempuan telanjang memperlihatkan keindahan, 
kalau 
laki-laki telanjang memperlihatkan kemaluan.

Beberapa saat lalu, artis muda jebolan ajang pencarian bakat membuka jaketnya di hadapan siswa-siswi, heboh pro dan kontra terjadi, toh banyak yang menilai itu baik-baik saja. Wajar juga sih, mungkin menjadi masalah adalah di hadapan siswa-siswi.

Atau beberapa tahun lalu, kala kampanye pilkada dan aktivitas lanjutan, AYH melakukan lompatan dari panggung, atau stage dive, dilakukan militer aktif, perwira muda, jadi sangat bisa dimengerti, menggaet milineal tentunya. Menjanjikan karena memang banyak segi bisa diterima. Histeria massa bisa tercipta.

Asian Games kemarin, salah satu yang heboh adalah Jojo  yang membuka kaos penuh keringat yang dipakai selama pertandingan. Apa yang dilakukan itu jadi atraksi tersendiri dan malah menjadi inspirasi untuk iklan. Mengapa demikian? Lagi-lagi adalah muda, atlet di masa awal puncak karir, tentu olah otot dan badannya nomor satu. Orang histeris dan mau lagi melihatnya karena gumpalan otot yang menggoda mata, bukan timbunan lemak.

Entah apa yang ada dalam benak capres ini ketika dari atas mobil ia melepas bajunya dan melempar bajunya ke tengah kerumunan massa.  Apakah mau menciptakan histerisme pendukungnya, atau apa, kurang menemukan titik nalarnya.

Atlet sangat mungkin menjadi rebutan kala kaos itu dilemparkan, kaos basah keringat perjuangan dalam pertandingan. Toh  pemain yang kalah tidak akan percaya diri melempar itu dan mendapatkan sambutan dan rebutan. Pemenang yang akan menjadi rebutan.

Pemain, terutama pemain bola ketika membawa perubahan dan pembeda, membuat gol kemenangan umpamanya, akan dipastikan kaos yang dilemparkan akan menjadi rebutan. Ada nilai historis dan kemenangan di sana. Entah historis apa dalam baju safari dengan saku kuno itu, toh ada juga yang berebut sih.

Mau memperlihatkan kesehatan yang prima, siapa yang kalah prima di antara empat kandidat, tidak menemukan lagi, lagi urgenitasnya. Semua kandidat dalam taraf wajar. Apalagi jika berhadapan dengan capres rival. Mungkin hanya menang pada cawapres KHMA yang memang beda usia dan beda gaya. Lebih parah  jika di hadapan cawapresnya sendiri, yang memang suka olah raga.

Malah memilukan, jika benar bahwa isu-isu yang beredar bahwa kesehatan calon ini memang sangat tidak menunjang untuk kontestasi level presiden. Dengan membuka baju, hendak memperlihatkan baik-baik saja. Toh tidak memberikan bukti apapun.

Miris lagi, yang selalu mendengung-dengungkan keagamaan, ulama, dan sejenisnya, namun malah memperlihatkan perilaku yang tidak patut di depan umum. Akan berbeda jika di stadion, dengan baju olah raga, kemudian baju kaosnya dilemparkan, atau ada di arena balap kuda atau berburu. Lha ini di tengah jalan, konteksnya sama sekali tidak ada pembenar yang esensial.

Kedua aksi capres itu memberikan bukti faktual, pilihan  yang diambil sebagai wujud seorang pemimpin itu baik dan bagus yang mana. Ada nilai yang dipetik atau asal-asalan semata.  Apa iya memilih yang pinter ndagel semata?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun