Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Agama antara Politik Identitas dan Penghayatan Spiritual serta Agama Capres ini

1 Maret 2019   09:00 Diperbarui: 1 Maret 2019   15:33 436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pemimpin negara tidak harus pemimpin agama, ini negara Pancasila dan bukan negara  Teokrasi. Pun, pemimpin agama, tidak dilarang memimpin negara, karena negara demokrasi, tentunya semua warga negara layak untuk menjadi pemimpin bangsa ini, apapun latar belakangnya, termasuk pemimpin agama sekalipun. Kesetaraan di alam demokrasi adalah wajib.

Pemahaman agama itu penting bagi seorang pemimpin termasuk pemimpin berbangsa.  Bayangkan bagaimana jika bernegara namun dipimpin orang yang abai akan sisi spiritualitas. Salah satu yang parah adalah pemimpin yang membenarkan segala cara demi mendapatkan kemenangan dan kursi, perilaku demikian, apa pantas menjadi pemimpin, meskipun pemimpin politik sekalipun.

Agama sejatinya menjadi pedoman, kompas, penunjuk arah bagi sebuah kepemimpinan dan perilaku pemimpin. Ideologi bangsa memang penting dan baik. UUD dan dasar negara serta turunan adalah tuntunan di dalam bernegara. 

Pemimpin sebagai pribadi perlu memiliki pemahaman agama dan spiritual cukup sehingga bisa menjadi teladan dalam segala kondisi. Agama bisa memberikan tuntunan perilaku pemimpin yang lebih baik.

Politik identitas dan agama

Salah satu penyakit bangsa ini adalah  memainkan agama sebagai sarana menggoda pemilih. Berebut suara dalam pemilu memang salah satu ciri demokrasi.  Nah di sini peran agama dan spiritualitas yang sejati itu menemukan maknanya. 

Pelaku dan politikus yang berdemokrasi dengan etis tentu jauh lebih baik dan bermartabat. Keberadaan agama menemukan fungsinya yang sejati.

Selama ini, beberapa kelompok, terutama para politikus miskin prestasi, menggunakan agama semata sebagai sarana untuk mendapatkan suara dan pemilih. Pemilih itu yang sebenarnya diberikan pencerahan dengan visi dan misi, bukan malah dengan menggunakan sentimen agama, ras, dan suku. Namun selama ini, hal itu cenderung kebih kuat dan menggejala terutama akhir-akhir ini.

Agama seharusnya menjadi acuan di dalam perilaku berpolitik. Politik yang selaras dengan aturan agama. Mana ada agama yang menganjurkan perilaku munafik, menebarkan fitnah, mendistorsi fakta demi mendapatkan pengaruh, sekaligus pemilih.  Terkhusus dalam pilpres 2019, hal itu mulai kuat dan menjadi alat yang seolah satu-satunya cara dan jalan.

Efektifitas isu agama dan politik

Terbaru, tentu adanya kampanye kalau salah satu capres itu akan melarang adanya kumandang adzan jika menang dalam pilpres mendatang.  Polemik berkepanjangan. Para pelaku terputus dalam organisasi pemenangan paslon. 

Padahal jelas-jelas mendeskreditkan pihak satu dan menguntungkan pihak lain.  Ini pun sebenarnya membuktikan bagaimana perilaku mereka sebagai pemimpin yang beragama.

Efektifitas sentimen agama pernah, ingat pernah sukses, pilkada DKI jelas memberikan fakta bahwa sentimen agama sukses membawa pemerintahan baru dengan menenggelamkan pemerintahan lama. Isu ayat dan mayat demikian efektif dan masif untuk menakut-nakuti pemilih.

Beberapa kaitan agama namun tidak cukup laku adalah sebagai berikut:

Partai Allah dan partai setan, syukur bahwa ternyata Tuhan memberikan bukti, bahwa yang menglaim dari partai Allah itu malah kena tangkap KPK karena korupsi, contoh Zumi Zola.  Pun beberapa pelaku lain  bersama-sama melakukan pembohongan publik dengan kisah Ratna Sarumpaet.  

Satu demi satu masuk bui dan mendatangi KPK dan kepolisian untuk menegakan hukum, artinya ada potensi pelanggaran hukum. Hayo mana yang dari Roh Baik dan roh jahat.

Lima juta autosurga, ini tentu jihad harta untuk pemilihan presiden. Coba bayangkan bagaimana surga bisa diperjualbelikan dengan mudahnya dan dinilai dengan  uang dan materi semata-mata. 

Apa iya, ketika orang membayar kasarnya tiket lima juta, dan mabuk-mabukan, malingan dan korupsi, menebar kebencian, pun bisa luluh karena sudah membayar lima juta. Beneran demikian sikap orang beriman?

Doa dan puisi yang berulang dengan sentimen keagamaan dan politis tertentu. Doa berkaitan dengan dukungan kyai sepuh Mbah Moen, dan dijawab puisi doa yang tertukar ala Fadli Zon, itu belum reda benar, telah ditimpali dengan puisi doa perang ala Neno Warisman.  

Apakah ini tidak sengaja? Susah melihat itu sebagai sebuah ketidaksengajaan semata, ada upaya masif dan terys menerus untuk itu.

Penyebutan istilah maksa adanya santri milenial, bahkan menyamakan dengan nabi, seolah bisa mendadak ulama atau santri. Hal yang jelas permainan kedodoran karena sering memainkan permainan politik identitas kemudian tertelikung karena kubu sebelah menggunakan ulama yang sesungguhnya.

Perilaku politis di atas itu dilakukan oleh para pelaku politik yang selalu menjadikan agama sebagai tameng. Istilah-istilah keagamaan, penggunaan kalimat-kalimat suci, dan pakaian khas keagamaan, ritual  keagamaan di dalam aktivitas mereka. Paling depan jika menggunakan sensitifitas agama, namun perilaku munafik, pelanggar hukum selalu terdepan.

Bagaimana bisa perilaku munafik demikian bisa sekaligus merasa paling suci dan saleh? Cukup miris sebenarnya di dalam melihat perilaku mereka untuk bisa memperoleh kepercayaan dan keyakinan untuk memimpin.

Apakah bisa mereka mendapatkan kepercayaan, ketika agama dan Tuhan saja dijadikan sarana, apalagi hanya rakyat? Yakin demikian itu mau dijadikan pemimpin?

Paling memiriskan adalah, ketika seorang calon presiden, namun melakukan gerakan wudhu saja masih salah? Masalahnya itu adalah dasar dari seluruh aktifitas hidup beragama yang diimaninya. Bagaimana mau shalat, mengaji atau membaca Kitab Suci, ketika bersuci saja masih belepotan. Semoga kali ini sudah benar.

Namun, apakah bisa dalam kisaran empat tahun ini sudah jadi bisa mengaji dengan baik, ketika bersuci belum bisa, bagaimana bisa membaca apalagi merenungkannya? Susah melihat betapa susahnya memahami pemahaman beragama model demikian.

Lebih jauh, ketika pengetahuan dasar dan praktis saja gagal untuk dikuasi, bagaimana bisa menghayati dalam hidup, apalagi jika sampai berbicara mengenai pengamalan hidup beragama. Pengamalan itu jelas perlu adanya pengetahuan, pemahaman, dan akhirnya pengamalan ilmu beragamanya.

Bagaimana Jokowi yang diisukan selama ini katanya Katolik bernama Herebertus, keturunan China, dan seterusnya dan selanjutnya itu jauh lebih memberikan jaminan hidup beragamanya. 

Salah satu buah baik dari hidup beragama itu hidupnya tidak macam-macam. Egoisme jelas ciri orang beriman lemah, dan itu tidak menjadi gaya hidup Jokowi.

Kesenangan di dalam hidup sederhana. Lihat saja  bagaimana perilaku Jokowi dan keluarga yang tidak ajimumpung. Beda jauh dengan pribadi yang agamanya tidak jelas. Kecenderungan hedonis sangat mungkin bagi para penganut lemah iman.

Apa yang tersaji telah memberikan gambaran yang baik dan jelas bagaimana kualitas dari keduanya. Apakah ini tidak cukup memberikan bukti untuk memilih siapa di antara mereka berdua? Semua sudah jelas kog.

Negara berdasar Pancasila, sila pertama berkata soal Ketuhanan Yang Maha Esa, di sana, agama menjadi salah satu unsur mendasar. Bagaimana mungkin calon presiden namun tidak mampu menjalankan aktvitas dasar agamanya?

Pilihan sudah jelas, Jokowi sekali lagi, Jokowi satu untuk dua periode bersama KH Makruf Amin sebagai jaminan kelanjutan pembangunan. Susah melihat pembangunan dalam rel yang sudah baik ini malah dialihkan pada yang belum teruji dengan perilaku tersebut di atas. Mosok buat negara kog coba-coba, seperti kata iklan lama soal obat untuk anak kog coba-coba.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun