Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Doa Terlarangkah Ini?

25 Februari 2019   09:00 Diperbarui: 25 Februari 2019   09:58 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam setiap doaku, selalu aku jadikam tema utama, tidak lupa menyelipkan dua bagian utama ini, selain bersyukur, memohon ampun, dan juga berdoa ini dan itu. Kadang  terbersit apakah layak dan benar dengan permohonan dan doa ini? Apakah ini salah atau benar? Satu yang pasti, kalau memang tidak berkenan dan salah, biarlah Tuhan saja yang tahu.

Ini berkaitan dengan masa lalu, dengan kisah yang berbeda. Pertama, doaku bagi seorang imam yang berkaul untuk menjaga kesuciannya. Aku mendoakannya agar selalu setia di dalam jalan panggilan-Nya, entah apakah aku salah jika berbuat demikian, karena toh ia masih selalu mengatakan kangen, rindu, dan menghujaniku dengan surel, percakapan, telpon, dan apapun sarana yang penting ia bisa menyatakan kerinduannya.

Atu tahu bahwa kerinduannya itu salah, namun ia bersikukuh toh tidak ada yang ia langgar dengan ikrar setianya. Aku  tidak pernah membalas ungkapannya itu. Selalu aku  normatif menanyakan bagaimana karyanya setiap ia bilan kangen.

Rindu yang ia katakan tak tertahankan, aku jawab bawa saja dalam doa. Dan itu sering membuatnya ngambeg, dan beberapa har "teror" itu berhenti. Dengan begitu, lumayan perasaanku yang seolah menggoda pastor sedikit terobati. Tapi entah ada angin atau mengapa, itu hanya mujarab dalam hitungan hari, belum pernah ia bisa lebih dari seminggu bisa diam dengan aksinya yang ia katakan tidak salah itu.

Beberapa saran teman dekatnya yang mengatakan agar aku kawin saja biar ia tidak ada lagi harapan. Dengan aku tetap sendiri, ia merasa tidak ada yang ia rugikan, toh ketika ada suami, ia akan merasa sungkan dan takut membuat suamiku cemburu, dan tentu sebagai gembala ia akan malu. Apa daya aku tidak bisa mengambil keputusan itu.

Semua media baik sosial, nomer telpon, dan surel aku ganti, entah dari siapa, entah kawannya, atau temanku ada saja yang tidak sengaja sampai kepadanya. Satu pintaku pada Tuhan, agar ia tetap setia dan tetap ada di jalan panggilan istimewa itu.

Aku yakin dan tahu kalau ia selalu berbuat demikian, hanya kepadaku. Dan ia pernah mengatakan kalau aku satu-satunya yang ia perlakukan demikian. Sedih jika aku ingat apa yang ia katakan ketika pertama kali ketemu.

Ia merasa sendirian, tidak ada rekan yang mengerti kegalauannya, entah mengapa ketika aku, yang waktu itu mau konsultasi dan meminta nasihat atas relasiku, eh malah ia yang curhat dan jadilah keterusan hingga hari ini. itu sudah berlangsung sekitar lima tahunan lho.  Awal ia tahbisan hingga hari ini sudah merayakan lima tahunnya.

Sore itu aku datang ke pastoran, mau curhat karena pacarku mau dijodohkan oleh orang tuanya. Aku diajak nikah lari, namun aku katakan itu sebagai perilaku buruk. Mau mencari peneguhan, eh malah jadi tempat curhat imam muda yang galau.

Ia menceritakan, bahwa di paroki, rekan pastornya satu hampir emiritus, dan ia datang untuk menggantikan. Satunya keras alang kepalang, belum terlalu tua sebenarnya.  belum ada titik temu untuk bisa memahami mereka. Eh malah curhatnya panjang banget, sampai heran sebenarnya aku.

Itulah awal mengapa aku dekat dengan si imam muda itu. Tahu persis kegalauannya, aku paham ia demikian, karena sejak SMP ia masuk seminari, tidak pernah sempat kenal yang namanya lawan jenis. Ia bersyukur bahwa mengenalku yang memahami dan tidak membuatnya keluar, padahal banyak rekan-rekannya begitu kenal gadis keluar dan menikah.

Relasiku dengan cowokku terjalin sejak SMA. Ia anak perantauan, jadi ngekos di kotaku.  Ia anaknya rajin, cerdas, dan banyak teman-temannya yang minta bantuan buat pekerjaan rumah, dan kawan-kawan akan membelikannya makan. Anak orang cukup terpandang, ia tetap mencari duit sendiri, dengan menerima les anak sekolah dasar. Lumayan bisa menabung banyak bagi usianya.

Kedekatanku karena aku kagum pada pribadinya. Selalu ceria, banyak aktifitas yang ia ikuti dan nilainya bagus, pun masih nyambi cari uang. Pertama kali aku tanya memang uang sakunya kurang, sehingga harus ngelesi? Jawabannya ternyata jauh dari apa yang aku bayangkan, ia mengatakan memberi les ternyata untuk membantu anak-anak yang tidak cukup mampu di dalam studinya.  Ia hanya mencari anak-anak bukannya yang kaya dan pinter, namun kaya yang tidak cukup pintar. Inilah yang membedakan dengan pemuda lainnya.

Usai SMA kami  mengambil jurusan dan universitas yang sama dan benar diterima di sana. Kedekatan makin terjalin, apalagi masa kuliah berbeda dengan sekolah. Kuliah demi kuliah, ujian demi ujian kami lalui di dalam kebersamaan yang indah.

Sidang ujian dapat kami selesaikan dengan baik dengan saling dukung. Wisuda menjelang dan kala gladi, orang tuanya mendatangiku dan mengatakan, terima kasih atas kehadiranku, namun dengan menyesal mereka memohon maaf karena telah membuat kesepakatan dengan rekan kerjanya, sekaligus sahabat mereka, dan mereka berbesanan.

Aku cukup kaget, karena mereka menyatakan dengan penuh sesal dan berurai air mata, aku malah tegar dan menyatakan selamat.  Sejak hari itu aku tidak tahu lagi khabarnya, hanya bahwa ia pernah mengajakku kawin lari. Dan itu yang mempertemukan dengan imam muda itu.

Tiba-tiba ada nomer yang tidak aku kenal mengirimku pesan, aku tidak tahu siapa, dan aku pikir kalau memang berniat baik akan  memperkenalkan diri. Benar, sore sepulang kerja, aku mendapati ia ngechat aku dan akhirnya menghubungiku.

Ia berkisah bahwa ia dan istrinya merasa berdosa kepadaku. Istrinya selalu keguguran setiap kali hamil, dan merasa bahwa ia merasa berdosa kepadaku.

Aku mengambil keputusan tidak memedulikan apa yang ia katakan, karena pernikahan mereka adalah sakramen yang tidak lagi bisa diceraikan kecuali oleh maut. Aku sudah bisa kokoh dengan hidupku. Rengekannya selalu sama, merasa menyesal bahwa orang tuanya memutuskan sepihak dan seterusnya, selalu seperti itu.

Apakah doaku salah jika mendoakan kedua laki-laki itu tetap setia pada jalan mereka, meskipun mereka merasa tidak bahagia? Satu yang jelas, bahwa aku mendoakan mereka dengan tulus, dan lega jika usai menyebut nama mereka di dalam doaku. Dari sana aku merasa bahwa Tuhan berkenan dengan doaku. Sekian lamanya irama dan isi doaku sama, dan aku tetap bahagia dengan doa dan pilihanku.

Semoga kalian tetap dalam jalan kalian, dan berhagia dengan jalan kalian. Aku sudah bahagia juga dengan jalanku.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun