Beberapa hal yang baik untuk direnungkan dari gaya kepemimpinan Jokwi:
Menyimpan rahasia. Bagaimana sikap Rizal Ramli, Anies Baswedan, sekarang Sudirman Said. Namun apa sikap Jokowi, tetap melenggang tanpa terganggu oleh siulan mencemooh penonton, ataupun pemain yang ia ganti. Memperlihatkan kualitas kepemimpinan kelas wahid.Â
Mudah ada membalas dan ganti mengumbar keburukan yang jelas ia tahu itu. Namun sama sekali tidak dilakukan. Minimal adalah rapornya merah dan tidak bisa ditolong untuk lanjut, satu saja segi diungkap, mereka diam.
Fokus. Orang sering kalap, galau, dan cemas, kalau diserang bertubi-tubi. Tampaknya semboyan, aku rapapa benar-benar dihayati, sehingga tetap saja bisa memimpin dengan semestinya. Apapun yang dijadikan bahan ocehan sepanjang tidak benar dan tidak merugikan bangsa dan negara didiamkan saja.
Sikap melihat politik bukan matematik dengan jeli. Orang selalu tergesa, cepet-cepet, tidak sabaran. Kisah Sudirman Said dan setya Novanto dulu orang berpikir pasti akan habis, eh Setnov malah jadi ketua Golkar, dan akhirnya masuk bui dengan tenang. Â Pertimbangan masak dan mendalam bukan grusa-grusu.
Sigap. Melihat persoalan itu secara mendalam dan sigap. Contoh olah raga bisa berbicara di level Asia. Asia Tenggara saja sering ngos-ngosan. Eh Asia bisa diraih. Sikap sesuai dengan lengan baju yang disingsingkan.
Ada juga sikap lain, bijaksana orang biasa emosional kalau menghadapi gerudugan. Semua yakin akan jatuh karena 212, toh presiden bisa bersikap dengan arif dan semua baik-baik saja. Pilihan menang-menang adalah gaya baru dalam perpolitikan bangsa ini. Selama ini selalu saja orang maunya mengalahkan pihak lain.  Mengalah untuk menang itu perlu jiwa besar.
Apa yang ditampilkan itu, sayangnya jauh dari apa yang dilakukan rivalnya di dalam pemilihan mendatang. Mengandalkan orang-orang yang tersingkir dari kabinet, sebagai barisan sakit hati, tentu sebagai tindakan tidak bijaksana untuk banyak pihak.Â
Memang secara instan akan memberikan dampak  besar, namun apakah demikian terus dan baik bagi hidup berbangsa ini?  Tidak sepenuhnya demikian, apalagi yang disajikan  secara umum memiliki jauh lebih kuat fitnah, kebohongan, dan pengarahan opini yang tidak sepenuhnya benar.
Berpolitik itu jelas memang kepentingan yang menyatukan. Namun jangan juga dilupakan adanya etika, ranah moral, dan tentu saja nurani. Bagaimana orang bisa melakukan pembodohan pribadi lain dengan riang gembira, di depan mata dengan sajian data yang dibalik sendiri?
Apa yang tersaji, apalagi perilaku pemerintahan Jakarta, apa iya masih percaya apa yang dikatakan para pembantu presiden yang diganti itu sebagai kebenaran seutuhnya? Susah bukan.