Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengafal Singkatan yang Gagal Capres 02 di Hadapan "Dosen" Jokowi

19 Februari 2019   07:49 Diperbarui: 19 Februari 2019   08:01 3125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keempat, keberanian mengaku tidak tahu atas hal yang memang tidak dipahami memang salah? Tidak lah. Namanya manusia, mau presiden atau calon presiden, ada juga keterbatasan. Mau smartphone secerdas apapun itu toh bisa rusak kan, dan ada yang tidak bisa dilakukan. Dari pada ngeles tuding sana tuduh sini, katakan saja memang tidak tahu. Sekali lagi, coba Jokowi ditanyakan satu saja singkatan teknis di dalam dunia militer, sangat mungkin juga tidak tahu.

Kelima, pembelajaran yang sangat baik, menjadi "oposisi" bermartabat itu sejatinya bisa dilakukan dengan belajar banyak hal dalam pemerintahan. Jangan ketika tidak tahu apa-apa malah menuduh pihak lain sebagai pelaku ketidakadilan. Coba jika benar atau pada posisi sebaliknya?

Keenam, BPN perlu mengganti seluruh timnya, mumpung masih ada waktu. Apa yang ada selama ini hanya pembenci Jokowi bukan pendukung dan pengusung capres mereka. Ini sangat merugikan. Ribut riuh rendah di luar panggung. Padahal di atas ring calon mereka kalah telak.

Ketujuh, capres kog mirip mahasiswa SKS, sistem kebut semalam. Buat apa engamati hampir lima tahun, kalah telak di debat. Ini jelas kesalahan mutlak di dalam berpolitik. Mana bisa meyakinkan pemilih jika hanya selalu menuding pihak lain sebagai pelaku kecurangan, padahal mereka tidak melakukan apa-apa.

Kedelapan, sikap kedewasaan jauh dari kubu mereka. Jauh dari sifat bijak, malah cenderung kekanak-kanakan. Tidak mengakui kekurangan namun menyalahkan pihak lain yang menguasai keadaan. Bagaimana model demikian bisa menjadi pemimpin negeri ini bisa dapat lebih baik ke depannya.

Kesembilan, sikap reaktif dan model meradang dan merajuk seperti ini apa iya layak menjadi seorang pemimpin negara besar yang memiliki problem yang juga komplek. Marah setiap menghadapi persoalan ya berabe jika memimpin negara.

Kesepuluh, berarti yang dulu pradebat pertama gembar-gembor Jokowi takut debat kini terbukti siapa yang belepotan dan malah kacau di panggung dan luar panggung. Sudah basi trik yang dilakukan.

Apa yang ditampilkan dalam debat ini, jelas memberikan tampilan yang kontras. Di balik klaim dan perdebatan di luar panggung itu bukan lagi yang utama. Debat di panggung dengan hasil yang banyak pemilih melihat, tahu, dan paham mana yang layak memimpin atau hanya banyak bicara namun miskin esensi dan prestasi.

Perlu kedewasaan untuk mengapresiasi rival yang telah melakukan kinerja dengan apapun hasilnya. Sikap respek pada lawan ini ternyata masih jauh dari harapan. Tim sukses yang merusak tampilan normatif yang ada di atas panggung malah bisa dituding semakin hanya sebagai tayangan formalitas. Pelukan, salaman, dan saling dukung itu juga seharusnya sampai di luar panggung.

Apa iya, demokrasi kita hanya seperti ini terus? Hanya mengandalkan kebohongan dan menuding pihak lain bohong.  Rakyat makin cerdas, ikutlah cerdas, bukan malah membuat rakyat yang pintar ikut bodoh seperti pola pikir kalian.

Pilihan jelas tidak akan berpaling, tetap Jokowi. Mengapa memilih pemimpin tidak ksatria.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun