Nyesek itu seperti ini,
Ilustrasi pertama, di kost  atau kotrakan tanggal tua, mie instan tinggal satu, mie goreng lagi. Masak memakai pemanas air, jadi direndam bukan direbus. Lapar berat, hujan lagi, mau cari makan susah, pas mau niriskan, eh tumpah. Buat apa sudah susah-susah  buat rendaman mie coba.
Atau kisah ini, ada abg yang sudah siap-siap dengan pengamatan untuk pendekatan pada gebetan. Pas sudah cukup data dan yakin kebiasaan si gadis pujaan, bangun lebih pagi, mandi, bersolek, dan dimarahi kakaknya karena habiskan parfumnya lagi. Eh pas sampai depan rumahnya si gadis memilih teman sekelasnya yang bermobil.
Dramatis nyeseknya juga ini, mantan menikah eh maksa kudu datang  karena ternyata mempelainya itu adalah anak  sobat ortu. Coba bayangkan kayak apa melihat mantan suap-suapan dan ciuman ditepuk tangani orang segedung. Beda kalau adegan dewasa itu ditangkep hansip.
Nyesek ala mak-mak, uang saku untuk anaknya pergi sekolah, tinggal selembar itu, eh sudah didahului dicolong si suami untuk beli rokok dan kopi di warung sebelah yang sudah membuat sebel itu. Hilangnya uang sudah membuat murka, eh ke warung sebelah yang sudah membuat sebel duluan.
Guru pun bisa nyesek berganda-ganda. Di rumah diomeli istri karena gaji sudah habis, anak menangis minta gadget sama dengan temannya, di jalan ban bocor, ditilang pula karena lawan arus. Eh pas masuk gerbang sekolah dinanti wajah cemberut kepsek karena terlambat lagi. Ke kelas anak didik sudah konser karena dipikir pak guru gak datang. Bisa jantungan dan stroke bukan?
Ini level yang rakyat alami, sangat manusiawi, alamiah, dan banyak temannya. Beda nyeseknya kalau dialami elit, tokoh nasional lagi, dikenal sebagai seorang tokoh besar, merasa diri sukses dan gilang gemilang dengan berbagai klaim pribadi dan dukungan palsunya. Memiliki generasi penerus yang sangat dibanggakan, dan sangat menjanjikan. Ditawarkan ke mana-mana karena modalnya memang cumpen kali ini.
Merasa sebagai partai besar, memiliki trah yang sudah pernah moncer, partai juga pernah jadi pemenang pemilu, ada keturunan yang mirip-mirip dengan si tokoh besar, tidak heran percaya diri menjadikannya calon gubernur. Segala upaya bahkan dengan hal di luar kebiasaan. Santun jadi meradang dan marah besar, toh yang digadang-gadang terpental dini. Santai ini hanya pengenalan medan. Naik kelas.
Polarisasi pilpres tetap sama dengan 2014. Tentu dengan berbagai-bagai pertimbangan kedua kubu tetap didekati. Politik itu cair menemukan faktanya. Jalan sana jalan sini, ketemu sana ketemu sini, makan siang di sana, makan malah dengan sini. Sangat lumrah. Penetapan calon makin dekat. Survey sebagai bak sosok yang  tak terbantahkan memberikan keyakinan bahwa peluangnya cukup kuat dibandingkan rial-rival lainnya.
Badai kardus mendera. Kandidat yang digadang-gadang tersingkir dalam detik akhir. Kemarahan yang tidak mungkin diluapkan, ingat bukan budayanya  ngamuk, palingan tantrum, itu jadi meradang. Orang lingkaran utamannyalah yang berteriak lantang. Jenderal kardus dan jenderal baper menguar ke udara perpolitikan nasional.
Kubu yang lain sudah tertutup rapat karena persoalan pribadi dan politik yang tidak terjembatani lagi rupanya. Pun memang kandidatnya tidak cukup kuat dan menjanjikan. Jadinya dengan amat nyesek, mendukung sisi lain.