Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Fadli Zon, Farisi-Yahudi, dan Keadaban Politik

9 Februari 2019   08:46 Diperbarui: 9 Februari 2019   09:30 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukti tidak menghormati ulama paling tidak ada dua hal indikasi kuat. Menafikan rekomendasi para ulama, dengan mengandeng Sandi. Pertanggungjawaban mereka sama sekali tidak ada. Soal rumor yang tidak ada bantahan dan klarifisikasi soal memukul meja di hadapan para ulama menambah daftar sikap ini.

Terbaru jelas puisi dan tafsiran doa ala Fadli yang ugal-ugalan.  Bagaimana menyikapi kesalahan pribadi sepuh dengan bahasa demikian. sangat tidak elok. Pilihan pribadi dalam berpolitik itu biasa, jangan kemudian melupakan unggah-ungguh bangsa. Sekelas pimpinan dewan lagi. Namun ya memang itu kelasnya.

Farisi pernah menuding pengusiran setan karena kuasa biang setan. Identik, bagaimana mereka yang memilih biang kisruh selama 42 tahun bangsa ini. Mereka sendiri mengakui, hayo jangan ngeles kalau digoreng pihak lawan, pembangunan salah arah. Padahal yang ia tuding itu justru ada di dalam itu semua. Aada partai pimpinan Tommy dan pimpinan SBY, tidak perlu berpanjang kallebar, semua paham.

Menuding pengemplang pajak, hayo siapa yang masuk  dalam laporan-laporan bahkan luar negeri lho, jangan nanti menuding pemerintah takut kalah. Rilis dari media internasional, kedua kandidat utama mereka tercantum. Bagaimana bisa menuding ke mana-mana sedang mereka juga pelaku. Khas Farisi.

Tudingan pembangunan keliru ini jelas model pendekatan mendua yang sangat mengerikan bagi kerja sama politik. Mereka merengek tanda tangan dari para ketua umum untuk mendukung, namun ketika keadaan mendesak, dampratan dilakukan. Demokrat bisa saja sedikit merasa tenang ketika sudah diralat, bahwa keliru kecuali zaman SBY.

Cukup bisa menenangkan ketum tantrum-an ini. sedikit saja puja dna puji selesai. Namun secara umum bahwa apa yang dinyatakan itu jelas awalnya tidak ada kata, kecuali. Menggambarkan grusa-grusu dan tidak patut. Hanya demi menggaet pemilih dengan menjelek-jelekan siapa saja. Jelas kualitas buruk bagi calon pemimpin yang baik.

Berbeda dengan partai politik baru, yang dasarnya belum dan tidak tahu apa-apa, yang penting adalah menang dan ikut dalam gerbong kekuasaan. Sesederhana dan sesimpel itu  saja. Jadi tidak akan menjadi berkepanjangan, karena kepentingannya yang jauh lebih besar semata, dibandingkan pernyataan yang bisa dinafikan.

Mudahnya merevisi pernyataan yang telanjur diucapkan, lupa era modern, rekam jejak sangat mudah ditarik dan dilihat kembali. Hal yang di dalam elit mereka sangat biasa terjadi. bagaimana Amien Rais janji jalan Jakarta-Jogya, atau ada yang mau terjun dari Monas. Artinya memang mikir usai bicara, bukan mikir baru bicara. Apa ini calon pemimpin yang layak? Pantas visi-misi program nyapres saja direvisi.

Politik sering diklaim sebagai kepentingan yang menjadi panglima, lha memang demikian, namun ingat bagaimana kepentingan itu pun jangan abai akan etika dan kebaikan bersama. Bagaimana bisa menjadi pemimpin kalau menggunakan segala cara, membenarkan segala proses demi hasil semata. Hasil itu konsekuensi logis atas perjuangan, jangan dibalik.

Di sinilah peran keadaban politik para pemangku dan perilaku politik itu menjadi penting. Penhormatan akan siapapun baik rival dan teman. Ketika menuding dan mencela baik kawan atau lawan, ke mana tingkat adab mereka di dalam komunikasi, berpolitik, dan akhirnya bernegara? Jelas sangat penting. Ini bangsa beradab dan bermartabat, jangan dibawa kepada barbarisme kembali.

Bagaimana bisa mengaku demokratis, dulu banyak yang terlibat di dalam penggulingan rezim otoriter, eh kini romansa masa lalu mau dibangkitkan kembali. Jelas ini perilaku tidak wajar, namun menuding pihak lain sebagai tidak waras. Sudah berbahaya karena membedakan perilaku sendiri atau rival saja sudah tidak bisa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun