Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Puisi, Fadli Zon, Layar Lebar, dan Perlu Cermin Besar

8 Februari 2019   09:00 Diperbarui: 8 Februari 2019   09:28 874
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih aneh dan lucu lagi, ia dan Fahri memiliki layar lebar untuk memantau pergerakan media sosial bagi Jokowi dan Trump. Baik sih ide dasarnya ketika reaksi yang baik dan benar bagi kebutuhan rakyat sebagaimana ia nyatakan pada kasus perseteruan dengan Menteri KKP. Namun apa yang ia berikan kepada rakyat? Tidak ada.

Satu yang ia perlukan namun belum ia lakukan adalah membeli cermin besar sehingga ia bisa melihat seperti apa polah dan tingkahnya itu. Apa iya sudah seseuai dengan kepentingan rakyat atau hanya ingin menguarkan kebencian dan caci maki?

Puisi, media sosial itu sah-sah saja dilakukan oleh para pelaku yang tidak memiliki akses untuk menyatakan pendapatnya. Era Orde Baru hal yang membanggakan berani mengritik kekuasaan lewat media karya seni seperti Teater Koma, karena apa? Jika menyatakan  pendapat secara langsung pasti akan menjadi urusan tentara. Dulu ranah ini milik AD, bukan kepolisian. Nah akhirnya menggunakan media teater, pun itu kena kasus juga.

Seandainya Zon memiliki cermin sebesar layar di kantornya ia tidak akan menjadi bahan olok-olokan media, dan rakyat sebenarnya. Perilakunya yang menuding dan menyatakan seolah pemerintah itu tidak bekerja dan ia yang bekerja keras itu akan berkali ulang, itu tidak akan terjadi. Munafik namun bersuara lantang dan kencang.

Menuding ada kriminalisasi ulama, namun menista agama eh malah berkoar-koar dengan bangganya tapi tidak pernah menengok  kualitas, perilaku, dan pernyataannya sendiri. Cukup memalukan jika mau berpikir kalau ia adalah pimpinan dewan.

Miris lagi adalah ia yang mengaku "oposisi" kedudukan walik ketua dewan, namun malah lebih asyik dengan dunia yang bukan ranahnya. Hal yang memalukan sebenarnya bahwa dewan bukan menjadi media yang mampu mengontrol pemerintah. Itu malah perilakunya pribadi yang sekaligus pimpinan dewan itu. Coba jika ia sedikit saja mengalahkan ego dan pemikiran pribadi dan kelompoknya, tentu akan lebih bermartabat.

Saluran dewan itu jalur yang paling baik dan benar, dan itu memang tugas utama mereka. Namun mengapa malah ribet dan ribut di luar. Apa yang ia pilih adalah mempertontonkan kualitas dan pola pikirnya yang memang sudah tidak benar dulu.

Mengatakan kalau ia mengatasnamakan rakyat, namun ujung-ujungnya  adalah Jokowi, jelas mau mempertontonkan kualitasnya yang semata haus kekuasaan dan kursi kepresidenannya saja. Padahal bukan demikian jika berbicara esensi berdemokrasi. Fokusnya hanya Jokowi dan kursi presiden semata.

Melihat rekam jejak salah satu elit partai utama pengusung calon presiden dan wakil presiden seperti itu, masih yakin mau memilih? Susah memberikan dukungan dan pilihan untuk kelompok yang pola pikir sempit, pendek, dan hanya segitu saja.

Pembangunan yang dilakukan selama ini memang bukan pembangunan instan dan jangka pendek, dan itu yang selalu saja menjadi bahan gorengan yang memalukan. Ya pantas saja karena memang pola pikir dan kemampuannya sebatas itu saja. Nah apa yang ada itu jelas mosok masih mau memakai pemimpin yang tidak pernah bercermin?

Terima kasih dan salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun