Belum lagi ketika puisi itu dilakukan untuk menyerang, menjelek-jelekan pihak lain. Kasihan dan miris jika karya seni direndahkan untuk perilaku pengecut demikian.Â
Widji Tukul, Iwan Fals, melakukan kritik sosial dalam karya seni karena memang kondisi politik dan hukum tidak menjamin adanya kritik. Lha sekarang apapun bisa, pimpinan dewan lagi, namun malah mengekspresikan dengan tidak semestinya.
Usai puisi dengan judul Gendruwo dan Sentoloyo yang menjawab atau merespons atas pernyataan Jokowi, paling baru ia membuat pusi Doa yang Tertukar. Di sana lagi-lagi banyak pro dan kontra mengenai isi dan maksud siapa yang menjadi sasaran oleh Fadli Zon.
Salah satu yang paling parah adalah adanya tudingan bahwa Zon memaki dan mengatakan hal yang tidak patut pada kyai sepuh. Kepada siapapun juga tidak patut apalagi ini pada kyai, sepuh lagi. Miris, perilaku ugal-ugalan pada orang yang patutnya dihargai dan dihormati, siapapun itu.
Sikap menghormati yang memang tidak ada tampaknya dalam diri Zon yang merasa diri paling itu, mengatakan Jokowi plonga-plongo, sejatinya adalah menunjukkan kepribadiannya sendiri yang memang tidak patut.Â
Berbeda pandangan dan perbedaan pilihan politik itu biasa, wajar, dan sangat biasa. Namun mengapa menjadi sebuah kebencian seperti ini? Hanya memperlihatkan kepribadian kerdil dan miskin esensi dan prestasi semata bukan?
Apa masih mau menyerahkan kepemimpinan nasional pada orang-orang yang sama demikian? Penghormatan pada yang lain rendah, dan menjadi kebiasaan untuk merendahkan dan menaburkan kebencian dan memilih politik gaduh terus menerus demikian?
Pekerjaan itu dinilai dari hasil kinerja dan upaya yang dilakukan, bukan semata wacana apalagi menyindir dengan bentuk karya seni saja. Bukti atas kerja dan hasil proses lebih penting.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H