Semalam, ketika membuat status dalam media percakapan, sebuah gambar yang sama persis dengan cover di akun Kompasiana, ada rekan yang menjadi pendidik langsung komentar, "Itu dibaca semua Om?" Kemudian menjadi bincang-bincang soal kurangnya waktu  untuk bisa sekadar membaca.Â
Bagaimana bisa berbagi ilmu pengetahuan ketika menggali sumber inspirasi dari bacaan saja sudah minim?
Miris bukan ketika guru tidak ada waktu, ini bukan soal malas, memang sangat minim kesempatan untuk mengembangkan diri. Terutama ibu-ibu. Jelas ini bukan soal bias jender, namun karena  peran lebih yang sering membuat waktunya habis.Â
Urusan keluarga dan bermasyarakat, bekerja, dan jelas bukan taggung jawab yang ringan. Memang bahwa ada kesempatan untuk guru yang bersertifikat untuk menggaji ART, namun apa sesederhana itu?
Problem yang sering dinyatakan rekan-rekan guru adalah kurangnya waktu untuk keluarga dan penegembangan diri itu berkaitan dengan berkas administratif yang cenderung bukan hal yang mendasar. Â Kadang hal ini jauh menghabiskan waktu dibandingkan KBM-nya sendiri. Beberapa hal yang bisa dievaluasi adalah:
Pertama soal RPP dan perangkat pembelajaran yang maaf sebenarnya hanya toh sarana, bukan justru menjadi tujuan dari dunia pendidikan. Jadi bagaimana ketika sarana itu seolah menjadi yang paling penting dan utama.Â
Seperti mau sekolah namun malah waktunya habis untuk mempersiapkan perjalanannya. Kadang mengajar puluhan tahun juga dengan model dan cara yang sama kog.Â
Perlu menemukan formula yang baik dan pas agar menjadi kesempatan pengembangan diri juga lebih luas dan luwes.
Kedua, jika sudah bersertifikasi, urusan berkas ini lebih lagi. Mengapa demikian, surat ini dan itu, berkas begini da begitu, tidak jarang malah meninggalkan kelas, ingat waktu kantor yang memberikan legalisasi dan rekomendasi sama dengan jam kerja mengajar bukan? Ini juga masalah. ribet dan ribut.
Mengapa era digitalisasi masih ribet dengan kertas yang haduh levelnya mengerikan itu? Memang proses digitalisasi sudah ada, namun aksesnya tidak sesederhana idenya. Selain SDM si pengakses, juga kadang programnya tidak jelas.
Ketiga, tambahan peran sebagai panitia ini dan itu, ini jelas sangat memberatkan peran utama guru sebagai pendidik. Susah juga bagi sekolah kecil, sehingga mau tidak mau semua harus ditangani sendiri dan bersama komunitas kecilnya.Â
Jika bisa dilakukan karyawan yang bukan guru sebenarnya sangat membantu.
Keempat, banyaknya aturan dan perundangan yang dibebankan pada guru, namun ketika menyusunnya sama sekali tidak melibatkan guru secara penuh.Â
Dosen cenderung menjadi sumber rujukan, di  mana dinamikanya jauh berbeda. Ini menjadi potensi masalah, sehingga guru sering kebingungan.
Kelima, Â ini soal kebiasaan dan pembiasaan. Contoh, ketika murid mengerjakan kegiatan belajar mandiri, seperti diskusi, membaca teks, menyalin catatan, atau sejenisnya. Guru bisa kog sambil membuat laporan, perangkat pengajaran, dan urusan lainnya.Â
Di sinilah peran kreatif pemanfaatan waktu yang ada itu untuk efektif dan efisien. Waktu yang ada dipergunakan secara maksimal.
Belum lagi kemajuan iptek khususnya tekologi informasi, kadang bukan malah membantu dunia pendidikan seolah menjadi bumerang. Ribet mengurus murid yang lebih asyik dengan gadgetnya daripada bersosialitas dengan rekannya.
Guru lebih asyik dalam dunia media sosial atau dunia percakapan maya dari pada pengembangan diri dalam konteks profesinya.
Keenam, dalam seminggu dengan beban mengajar 24 jam, dengan seluruh beban dan tanggung jawab, perangkat pengajaran, koreksi, tanggung jawab sosial da urusan domestik keluarga memang sangat berat.Â
Tidak semua guru memiliki terobosan untuk mampu menciptakan ruang kreatif untuk efektif dan efisien.
Melihat toh banyak rekan guru yang bisa juga menulis dan menghasilkan buku, masih juga terlibat dalam organisasi ini dan itu, jika benar-benar kelas berjalan dengan baik, tentu ini menjadi sumber inspirasi untuk saling berbagi untuk mengembangkan diri bersama.Â
Bahwa masing-masing personal memiliki cara dan pendekatan yang berbeda, kesulitan dan jalan keluar yang lain pula. Namun ada inspirasi yang bisa saja menjadi sebuah alternatif untuk rekan lain petik.
Dunia pendidikan jelas memegang peran penting dan krusial bagi bangsa dan negara. Jika gurunya saja lemah, susah untuk berharap negara maju dan modern.Â
Salah satu penguatan kualitas guru adalah dengan adanya tunjangan sertifikasi. Ini baik dan benar, namun itu saja tidak cukup.
Dunia perguruan tinggi sebagai penghasil calon guru perlu diberi dorongan dan kekuatan bahwa produk atau lulusan mereka juga kreatif dan berdaya juang, sehingga mampu memberikan ekspresi pendidikan yang berkualitas.Â
Mirisnya, hingga kini, kecenderungan fakultas keguruan adalah jurusan "buangan" menjadi sebuah bencana. Susah menemukan calon guru yang benar-benar mau jadi pendidikan dan pengajar yang baik.Â
Calon si banyak namun yang benar-benar memiliki kualifikasi pengajar dan pendidik tidak cukup banyak. Dan PT pun ternyata belum cukup kuat mengubah masukan biasa ini menjadi hasil produk luar biasa.
Kebijakan masih saja berkutat antara kurikulum dan kelulusan, malah sekarang ditambah soal penerimaan yang sebenarnya jauh dari kepentingan guru dalam kegiatan belajar mengajar, namun menjadi beban juga bagi mereka. Masih banyak masalah lain yang mendasar dan penting belum disadari.
Masih perlu waktu dan perhatian, sehingga Indonesia memiliki kualitas pendidik dan pendidikan yang mumpuni. Â Harapan itu ada, dan jangan sampai malah patah arang dan pesimis.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H