Seolah tidak ada ampun dan menjadi habis manis sepah dibuang. Tidak ada yang menengok lagi, apalagi mengingat.
Kisah berbeda ketika Dhani menjadi pesakitan karena ucapannya via media sosial. Pembelaan bertubi-tubi, terutama Fadli Zon, seolah Dhani adalah pahlawan, bak Bung Hatta yang mau dibuang dan Bung Karno yang mau dibuang ke Digul sana.
Mungkin bagi Zon, level Dhani adalah Minkenya Eyang Pram. Tulisan yang mengguncang penjajah Belanda, sehingga layak dibuang ke sana ke mari. Apakah demikian?
Pembelaan dan sikap yang berbeda dengan RS, karena potensi suara AD lebih menjanjikan daripada suara dan pengikut RS.
RS tidak memiliki pemilih dan penggemar kelas berat, fans garis keras, dan akan menjadi pemilih juga 02.
Masa RS sudah lewat, hanya penggembira dan tim pemandu sorak semata atas cuitan atau status medsos darinya.
AD masih memiliki pamor, dan penggemar cukup fanatis, toh masih bisa dipertanyakan lagi juga, apakah masih akan demikian.
Kisah yang berbeda, karena kasus AD berkisar pada ujaran kebencian yang biasa mereka goreng untuk bisa mendiskreditkan pemerintah.
Kisah RS terpotong oleh kebenaran yang terkuak, ketika AD tetap demikian, dan apa adanya, masuk bui dan bisa diolah menjadi seperti korban politisasi dan ketidakadilan karena perbedaan pilihan politik dalam pilpres.
Coba bayangkan jika RS itu lebih halus sedikit skenarionya, seperti apa coba? Akan jauh lebih ngeri.
Sebenarnya jika kisah model demikian, bukan hal yang baru bagi mereka. Boleh diingat lagi, kisah kardus yang menggila, toh tidak ada penyelesaian, ketika diselesaikan pasti ujungnya akan menyelahkan pemerintah.