Gelaran pilpres makin dekat, kelucuan ditingkahi tensi panas mulai menggeliat. Kelucuan yang dilakukan elit yang memperlihatkan kepanikan dan upaya bertahan atas persaingan yang makin berat. Segala daya upaya bukan fokus untuk menawarkan diri dengan program dan visi-misi yang cerdas, menarik, serta konkret, eh malah ribet pada degradasi potensi suara rival.
Politik beradab memang masih perlu waktu. Ironis sebenarnya dulu tidak ada kog permainan kasar ala main kayu seperti ini. Mengapa sekarang menggeliat begitu liar, dua episode pemilu ini paling tidak jelas nampak pola itu. Susahnya karena memang hanya dua pasang dan jomplang pula. Suka atau tidak ini fakta.
Jokowi memang terlalu. Bagaimana tidak, partai politik ia kuasai, birokrasi dengan gubernur dan bupati-walikota pun ia kuasa. Eh sisi keluarga pun ia menangkan bahkan level bayi kemarin sore, mendukung banyak, dalam diri Jan Ethes. Coba anak kecil saja tahu, apalagi yang dewasa dan berpengetahuan.  Sakit mungkin yang terpojok dalam banyak hal.
Jan Ethes
Ini entah anak presiden macam apa yang memilih nama anak Jawa banget. Kan era kini gila dua nama, Barat atau Arab. Lha ini malah Jawa deles. Sering dikatakan nama adalah doa, dan kog ya bener, si anak bener-bener ethes, sehingga sekelas pimpinan MPR saja sampai "iri". Bayangkan anaknya itu pendiam, cuma duduk  manis ketika ikut acara keluarga, tentu semua akan diam tidak jadi melibatkan Bawaslu segala.
Lucu  juga sebenarnya, toh itu bukan kampanye dalam arti sesungguhnya. Jika kebetulan ada tawaran dalam konsep kekinian, hanya karena sedang masa kampanye, ujung-ujungnya Bawaslu. Bisa ngelu Bawaslu ngurusi semua hal, yang kadang tidak mendasar. Malah lagi-lagi kampanye gratis bagi Jokowi, karena perilaku naif pihak lain.
Keluarga
Ini sungguh terlalu, coba seperti anak pejabat lain yang ikut molitik, atau terjun dalam partai politik, atau membuat partai politik, lha ini malah jualan martabak dan pisang. Padahal kan enak terjun kampanye dibiayai negara, orang lain susah menyerang karena kan sama, anak mereka juga begitu. Ketika berbeda kan membuat orang sungkan, dan akhirnya merengek dan menuding yang paling gampang.
Sungguh terlalu pilihannya ini. Mau menyandera karena korupsi dan kolusi susah, ya sudah adanya Jan Ethes yang memang ethes. Ungkapan kegemasan yang tidak bisa menyerang karena memang peluang itu tidak ada lagi.
Infrastruktur
Mulai banyak "kampanye" jalan tol mahal, jelas ini kampanye untuk "boikot" kerja keras yang sudah dilakukan hampir lima tahun ini. Siapa yang  memainkan jelas saja yang kepentingannya terganggu. Distribusi lamban, artinya bisa memainkan harga dengan seenak perutnya. Hal sangat lumrah terjadi karena sudah sekian lama enak-enakan di atas derita bangsa.
Birokrasi yang berkaitan dengan jalan, jelas mendapatkan batu sandungan ketika macet, jalanan rusak, itu kan proyek. Pengadaan jalan baru, perbaikan yang tambal sulam, jelas lihat model Pantura. Dan itu semua akan terhenti. Semua kan ulah Jokowi. Mampet kran proyeknya.
Nah birokrasi sakit hati ini ditingkahi oleh para petualang politik masa kampanye. Memanas-manasi kondisi yang belum sepenuhnya diketahui kebenarannya itu didengungkan, digaungkan, dan dijadikan sebagai bahan pembenar atas kebijakan salah di dalam membuat skala prioritas.
Pembangunannya tidak salah, hanya karena membuat kran itu macet jadi meradang. Menjadi lucu adalah pihak yang getol mengatakan bocor bocor itu, malah mendukung kebocoran alus begini. Jangan-jangan pelaku kebocoran teriak bocor, seperti orang buang angin? Â Itu soal jalan.
Mengenai bendungan dan perbaikan saluran irigasi. Ada yang lucu, ketika banjir mau diatasi namun membangun bendungan dikatakan rakyat tidak makan infrastruktur. Teriak-teriak swasembada beras, namun perbaikan saluran air dicurigai. Mengapa teriak-teriak? Ya karena biasa memainkan harga dan  importir  beras. Jadi wajar lah kalau ngamuk  karena suluran malingan mereka kini mampet. Tikusnya dijerat dengan sadis, padahal itu kaki tangan yang membuat mereka gemuk.
BBM Satu Harga
Terlalu bukan, selama ini bisa pesta pora tanpa biaya. Pertamina diminta membiayai dan hasilnya mereka nikmati. Eh kini harus tunduk dan mau tidak mau kolaps, tiarap dengan perut kosong. Tidak ada lagi celah kong kalikong.
Mereka berteriak BBM mahal, iya karena sekian puluh tahun mencekik saudaranya untuk memberikan subsidi, sedangkan kaum kaya ikut menikmati. Puluhan tahun mobil mewah sama dengan bemo harganya. Saudara di Papun harga puluhan ribu demi memberikan subsidi pejabat  dan orang kaya dengan BBM yang sejatinya receh bagi mereka.
Meradanglah yang biasa enak ini, pun yang biasa berpesta atas impor minyak, yang dinaikan dulu demi keuntungan sendiri. Negara lain pun ada yang jengkel, karena tidak bisa lagi ngadali dengan memanfaatkan ketamakan elit negeri ini.
Harga BBM itu sejatinya normal, mampu kog membeli, hanya karena sekian lama enak-enakan menerima subsidi, kini dikipas-kipasi untuk kembali enak seperti dulu lagi. Siapa mereka lagi-lagi ya yang selama ini mendapatkan keuntungan banyak, meskipun di dalam konteks yang lebih luas sangat merugikan bangsa dan negara, serta memeras saudaranya sendiri.
Apa yang tersaji itu kondisi panik dan susah bergerak lagi. Pertimbangan kepentingan negara masih kalah dengan keinginan pribadi dan kelompok. Kebiasaan puluhan tahun yang mendarah daging jadi susah juga untuk diatasi.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H