Birokrasi yang berkaitan dengan jalan, jelas mendapatkan batu sandungan ketika macet, jalanan rusak, itu kan proyek. Pengadaan jalan baru, perbaikan yang tambal sulam, jelas lihat model Pantura. Dan itu semua akan terhenti. Semua kan ulah Jokowi. Mampet kran proyeknya.
Nah birokrasi sakit hati ini ditingkahi oleh para petualang politik masa kampanye. Memanas-manasi kondisi yang belum sepenuhnya diketahui kebenarannya itu didengungkan, digaungkan, dan dijadikan sebagai bahan pembenar atas kebijakan salah di dalam membuat skala prioritas.
Pembangunannya tidak salah, hanya karena membuat kran itu macet jadi meradang. Menjadi lucu adalah pihak yang getol mengatakan bocor bocor itu, malah mendukung kebocoran alus begini. Jangan-jangan pelaku kebocoran teriak bocor, seperti orang buang angin? Â Itu soal jalan.
Mengenai bendungan dan perbaikan saluran irigasi. Ada yang lucu, ketika banjir mau diatasi namun membangun bendungan dikatakan rakyat tidak makan infrastruktur. Teriak-teriak swasembada beras, namun perbaikan saluran air dicurigai. Mengapa teriak-teriak? Ya karena biasa memainkan harga dan  importir  beras. Jadi wajar lah kalau ngamuk  karena suluran malingan mereka kini mampet. Tikusnya dijerat dengan sadis, padahal itu kaki tangan yang membuat mereka gemuk.
BBM Satu Harga
Terlalu bukan, selama ini bisa pesta pora tanpa biaya. Pertamina diminta membiayai dan hasilnya mereka nikmati. Eh kini harus tunduk dan mau tidak mau kolaps, tiarap dengan perut kosong. Tidak ada lagi celah kong kalikong.
Mereka berteriak BBM mahal, iya karena sekian puluh tahun mencekik saudaranya untuk memberikan subsidi, sedangkan kaum kaya ikut menikmati. Puluhan tahun mobil mewah sama dengan bemo harganya. Saudara di Papun harga puluhan ribu demi memberikan subsidi pejabat  dan orang kaya dengan BBM yang sejatinya receh bagi mereka.
Meradanglah yang biasa enak ini, pun yang biasa berpesta atas impor minyak, yang dinaikan dulu demi keuntungan sendiri. Negara lain pun ada yang jengkel, karena tidak bisa lagi ngadali dengan memanfaatkan ketamakan elit negeri ini.
Harga BBM itu sejatinya normal, mampu kog membeli, hanya karena sekian lama enak-enakan menerima subsidi, kini dikipas-kipasi untuk kembali enak seperti dulu lagi. Siapa mereka lagi-lagi ya yang selama ini mendapatkan keuntungan banyak, meskipun di dalam konteks yang lebih luas sangat merugikan bangsa dan negara, serta memeras saudaranya sendiri.
Apa yang tersaji itu kondisi panik dan susah bergerak lagi. Pertimbangan kepentingan negara masih kalah dengan keinginan pribadi dan kelompok. Kebiasaan puluhan tahun yang mendarah daging jadi susah juga untuk diatasi.
Terima kasih dan salam