Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menikah atau Melajang, Keputusan dan Pilihan Bukan Keterpaksaan

25 Januari 2019   09:00 Diperbarui: 25 Januari 2019   09:28 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Beberapa waktu lalu, ketemu teman yang sama-sama lajang di pertengahan 40-an. Pas saya tanya apa keputusannya, eh dia bilang mau menikah, tetapi apa yang ia hidupi itu bukan pola hidup berpikir untuk berkeluarga. Seolah dia kaget dengan pertanyaan saya. Ia coba mengalihkan pertanyaan ke saya, ada rekan yang mengambil alih bahwa saya sudah memutuskan.

Media kini ramai memberitakan mengenai Ira Koesno yang mendekati pertengahan abad masih sendiri. Mengapa harus ribet soal status, bukan kualifikasi ia sebagai apa atau bagaimana hidupnya yang berdampak bagi sesama. Pun status Rocky Gerung. 

Judul dengan berbagai hal yang cenderung mempertanyakan, mengapa, dan ada apa. Memangnya salah? Tidak perlu sensi dan mengaitkan dengan agama tertentu, ini bicara pilihan bukan agama.

Dari pada ndhedher kere, lebih baik sendiri. Dari pada memperbanyak penderitaan, mengapa tidak sendirian saja. Beberapa orang memilih menikah namun malah membuat anak menderita karena gaji tidak cukup untuk menanggung beban yang makin mahal. 

Sering orang mengatakan, jangan lupakan Tuhan. Benar dan setuju, namun jangan juga memerkosa Tuhan untuk menyukupi kebodohan dan kemalasan manusiawi.

Kualitas hidup generasi berikut akan lebih baik atau tidak? Jangan lupa, keluarga akan ada anak dan  mampu tidak menghidupi dan menyejahterakan mereka. Mungkin dalam soal keuangan tidak masalah, namun bisa tidak mendidik anak-anak secara berkualitas. 

Jangan sampai anaknya malah menjadi anak gatged, atau anak ART. Bagaimana pertanggungjawaban  moral sebagai orang tua jika demikian. coba bayangkan jika hidupnya masih suka belanja, suka senang-senang, eh harus  menjadi pribadi domestik demi anak, mampu dan mau tidak?

Di dalam sebuah pemberitaan, wartawan mengulik narasumbernya di sebuah PA. Ibu muda itu mau cerai karena suaminya tidak mau berbagi hasil kerjanya dengan layak. Gajinya hanya sebagian kecil yang ia berikan kepada istri. 

Sebagian besar untuk senang-senang sendiri. Si istri memilii inistiatif mencari tambahan, ternyata menjadi simpanan jejaka royal. Jelas ini runyam. Ketidaksiapan menjadi orang tua.

Hidup keluarga juga memiliki tanggung jawab sosial yang lebih. Bgaimana hidup bersama di tengah dua keluarga besar, bukan hanya satu. Masih juga jangan dilupakan hidup bersama masyarakat, pun di dalam dunia kerja.

 Itu memberikan dampak dan tanggung jawab sosial yang tidak mudah. Solidaritas jika ada yang memiliki gawe, orang meninggal, orang sakit.  Itu tidak sebesar tanggungan pribadi lajang. Memang ini bukan sebuah kewajiban, namun sebentuk etika hidup bersama.

Dampak bagi hidup pribadi dan partner. Bagaimana hidup pribadi atau mau berbagi dengan pasangan. Jika hanya penuh dengan drama, baik kepalsuan atau malah kekerasan, mengapa tidak sendirian saja? Sering karena semua orang melakukan jadi ikut-ikutan. 

Menikah itu bukan karena banyaknya orang melakukan. Coba bayangkan hanya karena pengin seperti orang lain, namun berkelahi terus, atau menyengsarakan anak sendiri, apa ya pantes?

Ada pula ketakutan masa tua. Beberapa rekan bertanya bagaimana nanti tuanya. Lha burung pipit itu sekecil itu pun bisa hidup, mengapa khawatir. Lha memang pasangan dan anak-anak hanya dipakai untuk merawat? Ini kan kurang ajar. Hidup berkeluarga bukan sesederhana dan sepele itu. Bisa juga tidak sampai tua hidupnya,  dan harapan saya begitu, ha..ha...capek.

Memutuskan menikah atau melajang juga jangan kelamaan. Mengapa? Jika menikah sudah lebih dari usia 40 banyak kasihannya daripada baiknya. Pilihan terbatas, ini sih becanda. Seriusnya, kalau memiliki anak, kualitas badan dan intelektualitasnya sudah tidak baik lagi. Kasihan bukan, dan lagi-lagi soal pengabaian generasi berikut.

Satu lagi yang penting dan mendasar, jangan sampai melajang demi enggan bertanggung jawab. Ini semprul namanya. Melajang tetapi tetap saja "jajan". Buat apa berbuat demikian?  Bahaya mengintai selain penyakit menular yang mengerikan, juga kondisi kejiwaan yang akan kering karena hati yang kering.

Memilih melajang, hidupi hidup rohani  dengan jauh lebih baik. Waktu yang ada demi bersama dengan Tuhan dan sesama yang lebih baik dan berkualitas. Ada teman kesusahan dengan mudah bisa hadir dan memberikan dukungan moral.

Mengembangkan hobi, jangan menjadikan hobi sebagai kompensasi atas pilihan melajang, namun mengisi waktu nenjadi lebih bermanfaat. Jika hobi menjadi kompensasi bisa  berabe, karena bisa salah menyikapi sama juga bohong. Hobi sebagai pengembangan diri dengan banyaknya waktu tentu lebih bermanfaat dan bisa mengembangkan diri.

Pilihan melajang yang bisa lebih memperhatikan diri, sesama, dan Tuhan mengapa tidak. Waktu yang ada demi pengembangan diri, masyarakat, dan relasi dengan Tuhan lebih baik. Tentu bukan juga melihat bahwa berkeluarga menghabiskan waktu, namun pilihan lebih tepat dan bermanfaatnya bagi pribadi masing-masing.

Pilihan bebas bukan karena keterpaksaan, dan memaksa diri untuk ini dan itu. Semua tentu mengandung konsekuensi dan itu perlu pertimbangan yang masak dan sesuaikan dengan kemampuan masing-masing.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun