Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Karena Jokowi, Jawa Tengah Bobrok

20 Januari 2019   09:00 Diperbarui: 20 Januari 2019   09:06 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Karena Jokowi, Jawa-Tengah Bobrok

Saya sebagai penduduk lahir, besar, dan lama di Jawa Tengah kecewa. Kurang lebih 35 tahun saya hidup dan menghirup udara Jawa Tengah, setahun Magelang, setahun Semarang, dan lainnya di tepi Rawa Pening. Pening karena enceng gondok eh malah diimpor ke Jakarta. Sebagian besar ada di Jawa Tengah.

Dulu pas mampir ngombe di Sungai Ambawang, Pontianak, kini masuk Kubu Raya anak bina pernah bertanya di mana Kab. Semarang itu. kalau dari Jakarta berapa jam. Jawab kisaran 12  jam. Wah pedalaman banget. Konteks anak itu adalah Pontianak perjalanan 12 jam itu ke hutan, pelosok, karena ke Kuching hanya 10 jam. Dia tidak tahu di Jawa itu patokan kota bukan Jakarta. Ternyata pandangan yang sama dipakai oleh capres dan koalisi 02.

Gubernur Ganjar pun pernah mengaku, ketika perjalanan darat dari Jakarta, kalau masuk Jawa Tengah pasti bangun. Saking cintanya Jateng? Bukan, salah besar, karena jalanan Jabar mulus,  masuk Brebes gronjalan, jadi terbangun. Orang nomor satu di Jateng saja mengakui keadaannya memang bobrok. Tidak salah kalau orang Hambalan dan koleganya jauh lebih banyak menemukan fakta yang jauh lebih buruk.

Keren bukan puluhan tahun hidup di istana megahnya, pesimis juga kalau ada pengakuan ia tahu banyak Jateng, apalagi perjalanan darat. Gaya hidupnya tidak memberikan keyakinan akan hal itu. jet pribadi sebagai tunggangan, apa iya melihat kehidupan bawah? Eits jangan sarkasme begitu, laporan banyak, buat apa era modern masih juga blusukan. 

Jawa Tengah sangat buruk. Alasannya jelas pertama karena asal Jokowi. Jika Jokowi dari Jember, begitu, pasti Jawa Timur bobrok.  Kisah suami yang pulang merantau dan membunuh istrinya akan masuk dalam pidato kebangsaan, atau bahan debat. Magetan miskin, sehingga rakyatnya merantau, pulang tidak bawa uang dan membunuh istrinya. Toh laporan itu tidak masuk  meja redaksi pabrik hoax.

Hebat lho calon pemimpin dari Hambalang ini. Keluarga si korban tidak tahu alasan keluarganya bunuh diri, eh mereka paham, itu karena kemiskinan. Pemerintah gagal menjamin kesejahteraan warganya. Jauh lho Purwadadi dan Hambalang itu.

Padahal di dekatnya Jakarta, banyak peristiwa identik. Pembunuhan di apartemen, karena apartemen tidak miskin, tidak seseksi gantung di pohon jati. Padahal pekerja hiburan malam, bahkan maaf PSK yang dibunuh oleh orang yang berkaitan dengan tidak jauh-jauh juga dengan kemiskinan. Ada miskin materi, ada miskin akhlak, ada miskin kemanusiaan sebetulnya. Karena bukan asal Jokowi ya aman-aman saja.

Alasan kedua, karena kalah pilkada di Jawa Tengah. Calonnya memang sama sekali tidak sepadan dengan incumben. Coba yang krisis air bersih kan Jakarta, mengapa Sragen yang disasar? Keren kan pola pikirnya, tidak biasa, think out the box. Sampai banyak yang tidak bisa memahami hal ini. termasuk Bupati Sragen pun tidak paham. Mereka melakukan banyak hal dan upaya, tetap salah karena pilkada kalah. Mengapa Jakarta tidak disebut? Kan milik mereka. Padahal menjadi bahan tertawaan pun tetap dipuji, kan hebat, kanca dhewe Dab.

Beras impor menenggelamkan panen di Klaten. Nah Jawa Tengah lagi kan. Padahal Klaten itu jauh dari pelabuhan. Mengapa tidak sekitaran Sunda Kelapa, yang juga sentra beras. Kan juga pilkada kalah. Iyalah kan bukan asal Jokowi. Pokoknya Jawa Tengah yang buruk. Jika Jokowi dari Cirebon, pasti akan dikatakan beras di Purwakarta panen harga hancur karena dibanyaknya impor beras yang membanjiri pasar.

Grobogan termasuk kabupaten termiskin. Lah kan lagi-lagi Jawa Tengah. Memang komplit kegagalan Jawa Tengah itu membangun. Coba bayangkan apa tidak ada lagi yang bisa dikatakan lebih terbelakang, ketika gojek dan grab berselancar juga di sana dengan lancar. Akses lalu lintas terus menerus sepanjang hari.

Tampang Boyolali, lagi-lagi menegaskan betapa bobroknya Jateng. Masuk hotel saja tidak pernah, menyebut nama-namanya saja tidak bisa. Apa iya sih? Padahal bandara Adi Sumarmo itu Boyolali, artinya akses transportasi sangat lancar, kecuali kereta api dan kapal laut. Angkutan bis 24 jam selalu ada, baik jalur Semarang-Solo, ataupun Solo dan sekitarnya ke  Jakarta dan sebaliknya.

Mengapa tampangnya dijadikan bahan seolah paling ndesa seluruh Indonesia?  Padahal banyak pejabat negara berasal dari sini. Ya suka-suka yang menyebutlah.

Orang Jawa Tengah itu selain bobrok juga penakut. Tidak ada demo berjilid-jilid seperti di Jakarta lampau. Mengapa begitu?

Jelaslah orang Boyolali lebih enakan ngarit, dari pada demo yang makan nasi bungkus yang di jalan. Anak istri memang ada amplop. Tapi tak tidak ada sapi yang mau nasi bungkus dan amplop. Wajar jika tidak ada demo berjilid-jilid.

Pendemo itu juga tidak ada dari Klaten, lebih baik macul, tandur, menghasilkan panenan beras Dlangggu yang tidak akan terganggu isu beras impor. Eh padahal yang kena kasus mafia beras dulu siapa ya? Kog jadi ingat lagi sih.

Sragen juga wegah demo berjilid, lebih enaknya ngluku, daud, lan ngarit. Penyandang dana jauh, tidak ada, juga buat apa menjatuhkan Jokowi, wong sedulur e dhewe. Ingat konteks Jawa Tengah, kultur sanak kadang masih cukup kuat.

Diusik tidak akan marah atau panas, tapi ingat keris ada di mana? Benar, belakang. Apa artinya? Ya siap-siap nyungsep. Koalisi mereka yang cukup mewakili di pilkada banyak menghasilkan NOL lho di beberapa TPS. Apalagi kini tanpa PKB.

Hasil buruk sudah akan di depan mata bagi mereka di Jawa Tengah. Lucu dan anehnya mereka menaruh pusat BPN di Solo, coba apa tidak melempar kotoran ke muka itu? Mereka ini sudah kalah banyak di sini, eh malah membuat ulah tidak simpati.

Bedakan pendekatan Jokowi di mana ia kalah? Sumatera Barat, apa yang ia buat di sana? Kunjungan berapa kali? Falsafah Jawa digunakan, mangku, di mana orang di-slondohi, dengan sikap merendah dan mengambil hati. Pun Papua, Madura, Jawa Barat. Ini bukan soal memang kalah, namun soal pendekatan personal itu penting.

Tampilan 02 cenderung mengedepankan kekuasaan. Bagaimana ia memandang presiden sebagai komandan penegakan hukum, jelas sumir. Lembaga penegakan hukum independen, meskipun benar yang mengangkat toh dengan keppres. Komando dalam arti kebijakan politisnya ikut terlibat di dalam. Melihat rekam jejaknya kog tidak sampai ke sana. Sedikit spekulatif bahwa hal ini hanya akan mengulang Orde Baru, di mana presiden adalah penguasa tunggal. Apa beda dengan raja jika demikian?

Jelas bukan apa yang ada dalam benak 02 hanya untuk merusak reputasi Jokowi, termasuk asal-usulnya. Lha apa ya salah warga Jawa Tengah memilih banyakan ke saudara sendiri, plus sudah jelas kualitasnya di dalam kepemimpinan. Apa yang sudah jelas itu mau dibuat kabur lagi dan kembali ke masa kegelapan, ketakutan, dan kecemasan ala Orba?

Pilihan jelas sudah tersaji dengan detail, ada di tangan masyarakat, mau maju atau mundur lagi. Jernih tanpa takut memberikan penerangan yang hakiki.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun