Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Terorisme bagi Koalisi 02

19 Januari 2019   13:00 Diperbarui: 19 Januari 2019   13:06 426
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu pernyataan miris oleh capres 02 adalah menyatakan kalau terorisme itu karena ketidakadilan. Fakta yang jauh dari data, di mana pernyataan dan  alasan itu, jika di luar negeri bisa ada unsur  untuk diterima kebenarannya. Lagi-lagi soal penguasaan materi, dan masalah berbangsa yang masih cukup belepotan.

Rekam jejaknya memang demikian. Bangga berkeliling 1000 titik, namun mengambil simpulan dari apa yang mereka klaim sebagai menyerap aspirasi, kog mleset jauh? Bisa saja bahwa 1000 titiknya itu memang sudah dilakoni, jadi mirip lagunya Didi Kempot. Hal itu belum menjamin benar dan tepatnya mendengarkan aspirasi masyarakat.

Mengapa demikian? Pertama ini soal  motivasi. Bagaimana motivasi hendak datang itu. Bener mau mendengarkan suara rakyat? Atau mau menjejali rakyat dengan jagon-jargon dan pola pikirnya sendiri? Bisa disimpulkan sendiri bukan dengan hal itu, melihat rekam jejaknya selama ini.

Kedua, fokus dan centrumnya itu diri mereka sendiri. Mana bisa mendengarkan, ingat mendengarkan bukan mendengar. Susah melihat mereka itu mengaku mendengarkan, sikap mereka yang sambil lalu, sering juga arogan, dan model cengengesan begitu mana bisa mendengarkan dengan baik.

Ketiga, kecenderungan mereka yang ningrat, hanya kamuflase semata mengaku blusukan. Settingan yang membuat mereka berjarak dan mana bisa orang yang berjarak bisa mendengarkan apa yang dikatakan pihak lain. Tampilan  yang bertolak belakang, apalagi kemarahan ketika ada keributan pas salah satu di antaranya mau pidato.

Keempat, mana  bisa menyerap aspirasi, nyatanya datang hanya untuk meledek dan merendahkan sana-sini. Ini ajang untuk unjuk gigi bukan untuk  mendengarkan. Susah bisa menerima dengan akal sehat bahwa mereka bisa menyerap aspirasi.

Kelima, tudingan, dan yang diangkat sebagai fakta di mana-mana nyatanya dibantah dengan data yang lebih konkret. Soal bunuh diri di Purwadadi, mengenai beras di Klaten, air bersih di Sragen. Hanya sepele begitu bisa termentahkan dengan lebih gampang lagi. Jelas bahwa mereka telah gagal menyerap dan mendengar yang dikatakan aspirasi itu.

Data yang diakui sebagai fakta yang mudah dibantah itu memperlihatkan mereka gagal di dalam mengelola data itu sendiri. Pemahaman sangat buruk sehingga menimbulkan banyak masalah. Kebohongan dan  kehebohan yang tercipta semata selama kampanye hingga debat ini. demikian pun tidak belajar untuk bisa lebih baik.

Dari sanalah terlihat kegagalan mereka di dalam memahami fenomena terorisme yang ada di Indonesia. Tidak bisa dan relevan dengan jasa mendirikan badan antiteror semasa aktif di militer. Bahasa kekiniannya kudet.  Jika semata kurang up date, masih lah bisa diterima nalar. Jauh lebih berbahaya, ketika mereka lagilagi salah informasi, salah mengolah data karena apa yang diterima itu juga salah.

Mengapa bisa salah? 

Kebersamaan mereka selama ini berjabat erat dengan kelompok-kelompok  fundamentalis. Namanya politik memang bisa saja mengaet suara dan rekan untuk dapat memperoleh simpati dan pemilih. Kebersamaan demi kepentingan sesaat yang apa bisa bersikap semestinya ketika nantinya para pihak yang sudah membantu ini melanggar hukum? Apa iya hutang budi politik demikian bisa dibalas dengan tegas?

Jawaban bahwa terorisme itu karena perlakuan tidak adil jelas hanya normatif di mana mereka berjaga-jaga agar tidak "mengecewakan" pemilih potensial mereka. Cukup erat relasi mereka selama ini. Dalam berbagai kesempatan mereka bersama-sama di dalam memperjuangkan irisan kepentingan yang sama. Perilaku pendukung garis keras mereka yang cenderung memusuhi polisi dan negara, sedikit banyak membuktikan ke mana arah mereka.

Bantahan sebagai militer jiwanya nasionalis, masih bisa diterima nalar, namun rekan-rekan sekoalisinya di dalam menyikapi dan merespons aksi teror toh jauh dari itu semua. Terorisme bukan semata aksi dan perilaku dengan meledakan ini dan itu, itu aksi yang ada di lapangan. Namun ada juga perilaku masuk terorisme, dalam arti penyandang dana, pendukung dengan segala kamuflasenya, simpatisan yang memuja aksi teror.

Selama ini mengatakan nasionalis, antifundamentalis, Pancasilais, namun memuja dan membela aksi teror sebagai pembela agama. Penegak hukum yang menjalankan UU malah dituduh melakukan kriminalisasi, melanggar HAM, dan seterusnya. Apa benar mereka itu nasionalis dan agamis? Ketika ketua MUI yang sedang menjadi cawapres mengatakan teroris bukan aksi agama? Tahu mana pemahaman agamanya, ketua MUI atau  ahli agama dadakan?

Perlakuan tidak adil dari mana sudut pandangnya, susah dinalar. Mengapa demikian? Itu aksi di luar Indonesia, di mana mereka menuntut kemerdekaan, adanya  diskriminasi dan menghendaki kesetaraan, ada aksi teror, itu bisa saja. Di sini? Apanya yang mau diperjuangkan? Sama sekali tidak ada.

Malah bisa-bisa dan kalau tidak hati-hati bisa salah paham dan salah sasaran. Bagaimana bisa menyasar pelaku teror namun diplesetkan memusuhi agama dan pemimpin agama tertentu. Nanti dikaitkan dengan komunis pula. Siapa yang selama ini memainkan isu ini?

Dukungan belum tentu berupa materi, namun juga dukungan dalam pernyataan yang tersirat ataupun tersurat memuja aksi kekerasan ala teroris di manapun, baik di Indonesia ataupun luar sana. Memberikan peluang untuk bisa tetap eksis dan mendapatkan kemudahan dan fasilitas.

Beberapa pihak yang ada di dalam kebersamaan 02 memberikan pernyataan yang sedikit banyak menambah energi bagi kelompok yang memahami aksi teror sebagai perbuatan amal keagamaan. Tidak sedikit, ada juga yang menyalahkan polisi dan penegak hukum.

Apa yang ditampilkan ini sangat merusak persepsi baik terhadap hidup beragama, pemerintah, penegak hukum, polisi dan densus 88 khususnya. Kerja keras mereka dicap sebagai penyiksa agama dan sejenisnya. Sikap saling curiga dan was-was dengan label tertentu menjadi lebih kuat.

Beberapa kelompok dari luar negeri menjadi girang dengan lahan subur yang diciptakan politikus buta realitas seperti ini. Mereka paham kog bahwa  aksi ini jauh dari ajaran agama, namun merasa perlu mendukung agar mendapatkan pemilih yang relatif banyak.

Hanya demi pemilih namun mengorbankan agama yang sakral. Bagaimana mungkin model pemimpin demikian bisa dipercaya. Menggunakan segala cara yang penting menang. Fokus adalah kekuasaan dan yang lainnya adalah alat semata. Agama didegradasikan semurah itu hanya untuk memperoleh kursi yang terbatas.

Miris model pribadi demikian, namun merasa pantas menjadi pemimpin, sedangkan menelaah persoalan saja belepotan. Seorang pemimpin itu bukan semata bisa menyelesaikan masalah, namun menemukan akar masalah dan menuntaskan persoalan itu agar bisa diselesaikan. Bagaimana bisa menemukan akar persoalan kalau memahami yang di permukaan saja gagal  begitu.

Apa yang ditampilkan selama ini kog lebih cenderung memberikan bukti bukan seorang pemimpin, namun seorang pelaksana. Diperkuat dengan saya mendapatkan laporan yang berkali-kali, atau belum ada laporan yang saya terima pun berkali-kali, makin menjelaskan kualifikasinya. Pemimpin jauh lebih tahu dari semua anak buahnya, itu kualitas pemimpin sesungguhnya.

Susah melihat bahwa mereka itu bisa bertindak tegas terhadap salah satu kejahatan luar biasa. Hutang budi politik yang akan menagih terus untuk memperoleh balasannya. Apa iya NKRI sebagai bayaran untuk kursi bagi calon pemimpin haus kuasa itu?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun