Jawaban bahwa terorisme itu karena perlakuan tidak adil jelas hanya normatif di mana mereka berjaga-jaga agar tidak "mengecewakan" pemilih potensial mereka. Cukup erat relasi mereka selama ini. Dalam berbagai kesempatan mereka bersama-sama di dalam memperjuangkan irisan kepentingan yang sama. Perilaku pendukung garis keras mereka yang cenderung memusuhi polisi dan negara, sedikit banyak membuktikan ke mana arah mereka.
Bantahan sebagai militer jiwanya nasionalis, masih bisa diterima nalar, namun rekan-rekan sekoalisinya di dalam menyikapi dan merespons aksi teror toh jauh dari itu semua. Terorisme bukan semata aksi dan perilaku dengan meledakan ini dan itu, itu aksi yang ada di lapangan. Namun ada juga perilaku masuk terorisme, dalam arti penyandang dana, pendukung dengan segala kamuflasenya, simpatisan yang memuja aksi teror.
Selama ini mengatakan nasionalis, antifundamentalis, Pancasilais, namun memuja dan membela aksi teror sebagai pembela agama. Penegak hukum yang menjalankan UU malah dituduh melakukan kriminalisasi, melanggar HAM, dan seterusnya. Apa benar mereka itu nasionalis dan agamis? Ketika ketua MUI yang sedang menjadi cawapres mengatakan teroris bukan aksi agama? Tahu mana pemahaman agamanya, ketua MUI atau  ahli agama dadakan?
Perlakuan tidak adil dari mana sudut pandangnya, susah dinalar. Mengapa demikian? Itu aksi di luar Indonesia, di mana mereka menuntut kemerdekaan, adanya  diskriminasi dan menghendaki kesetaraan, ada aksi teror, itu bisa saja. Di sini? Apanya yang mau diperjuangkan? Sama sekali tidak ada.
Malah bisa-bisa dan kalau tidak hati-hati bisa salah paham dan salah sasaran. Bagaimana bisa menyasar pelaku teror namun diplesetkan memusuhi agama dan pemimpin agama tertentu. Nanti dikaitkan dengan komunis pula. Siapa yang selama ini memainkan isu ini?
Dukungan belum tentu berupa materi, namun juga dukungan dalam pernyataan yang tersirat ataupun tersurat memuja aksi kekerasan ala teroris di manapun, baik di Indonesia ataupun luar sana. Memberikan peluang untuk bisa tetap eksis dan mendapatkan kemudahan dan fasilitas.
Beberapa pihak yang ada di dalam kebersamaan 02 memberikan pernyataan yang sedikit banyak menambah energi bagi kelompok yang memahami aksi teror sebagai perbuatan amal keagamaan. Tidak sedikit, ada juga yang menyalahkan polisi dan penegak hukum.
Apa yang ditampilkan ini sangat merusak persepsi baik terhadap hidup beragama, pemerintah, penegak hukum, polisi dan densus 88 khususnya. Kerja keras mereka dicap sebagai penyiksa agama dan sejenisnya. Sikap saling curiga dan was-was dengan label tertentu menjadi lebih kuat.
Beberapa kelompok dari luar negeri menjadi girang dengan lahan subur yang diciptakan politikus buta realitas seperti ini. Mereka paham kog bahwa  aksi ini jauh dari ajaran agama, namun merasa perlu mendukung agar mendapatkan pemilih yang relatif banyak.
Hanya demi pemilih namun mengorbankan agama yang sakral. Bagaimana mungkin model pemimpin demikian bisa dipercaya. Menggunakan segala cara yang penting menang. Fokus adalah kekuasaan dan yang lainnya adalah alat semata. Agama didegradasikan semurah itu hanya untuk memperoleh kursi yang terbatas.
Miris model pribadi demikian, namun merasa pantas menjadi pemimpin, sedangkan menelaah persoalan saja belepotan. Seorang pemimpin itu bukan semata bisa menyelesaikan masalah, namun menemukan akar masalah dan menuntaskan persoalan itu agar bisa diselesaikan. Bagaimana bisa menemukan akar persoalan kalau memahami yang di permukaan saja gagal  begitu.