Salah satu pernyataan miris oleh capres 02 adalah menyatakan kalau terorisme itu karena ketidakadilan. Fakta yang jauh dari data, di mana pernyataan dan  alasan itu, jika di luar negeri bisa ada unsur  untuk diterima kebenarannya. Lagi-lagi soal penguasaan materi, dan masalah berbangsa yang masih cukup belepotan.
Rekam jejaknya memang demikian. Bangga berkeliling 1000 titik, namun mengambil simpulan dari apa yang mereka klaim sebagai menyerap aspirasi, kog mleset jauh? Bisa saja bahwa 1000 titiknya itu memang sudah dilakoni, jadi mirip lagunya Didi Kempot. Hal itu belum menjamin benar dan tepatnya mendengarkan aspirasi masyarakat.
Mengapa demikian? Pertama ini soal  motivasi. Bagaimana motivasi hendak datang itu. Bener mau mendengarkan suara rakyat? Atau mau menjejali rakyat dengan jagon-jargon dan pola pikirnya sendiri? Bisa disimpulkan sendiri bukan dengan hal itu, melihat rekam jejaknya selama ini.
Kedua, fokus dan centrumnya itu diri mereka sendiri. Mana bisa mendengarkan, ingat mendengarkan bukan mendengar. Susah melihat mereka itu mengaku mendengarkan, sikap mereka yang sambil lalu, sering juga arogan, dan model cengengesan begitu mana bisa mendengarkan dengan baik.
Ketiga, kecenderungan mereka yang ningrat, hanya kamuflase semata mengaku blusukan. Settingan yang membuat mereka berjarak dan mana bisa orang yang berjarak bisa mendengarkan apa yang dikatakan pihak lain. Tampilan  yang bertolak belakang, apalagi kemarahan ketika ada keributan pas salah satu di antaranya mau pidato.
Keempat, mana  bisa menyerap aspirasi, nyatanya datang hanya untuk meledek dan merendahkan sana-sini. Ini ajang untuk unjuk gigi bukan untuk  mendengarkan. Susah bisa menerima dengan akal sehat bahwa mereka bisa menyerap aspirasi.
Kelima, tudingan, dan yang diangkat sebagai fakta di mana-mana nyatanya dibantah dengan data yang lebih konkret. Soal bunuh diri di Purwadadi, mengenai beras di Klaten, air bersih di Sragen. Hanya sepele begitu bisa termentahkan dengan lebih gampang lagi. Jelas bahwa mereka telah gagal menyerap dan mendengar yang dikatakan aspirasi itu.
Data yang diakui sebagai fakta yang mudah dibantah itu memperlihatkan mereka gagal di dalam mengelola data itu sendiri. Pemahaman sangat buruk sehingga menimbulkan banyak masalah. Kebohongan dan  kehebohan yang tercipta semata selama kampanye hingga debat ini. demikian pun tidak belajar untuk bisa lebih baik.
Dari sanalah terlihat kegagalan mereka di dalam memahami fenomena terorisme yang ada di Indonesia. Tidak bisa dan relevan dengan jasa mendirikan badan antiteror semasa aktif di militer. Bahasa kekiniannya kudet.  Jika semata kurang up date, masih lah bisa diterima nalar. Jauh lebih berbahaya, ketika mereka lagilagi salah informasi, salah mengolah data karena apa yang diterima itu juga salah.
Mengapa bisa salah?Â
Kebersamaan mereka selama ini berjabat erat dengan kelompok-kelompok  fundamentalis. Namanya politik memang bisa saja mengaet suara dan rekan untuk dapat memperoleh simpati dan pemilih. Kebersamaan demi kepentingan sesaat yang apa bisa bersikap semestinya ketika nantinya para pihak yang sudah membantu ini melanggar hukum? Apa iya hutang budi politik demikian bisa dibalas dengan tegas?