Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kata Fahri Hamzah, Pidato Kebangsaan Tidak Menakutkan Musuh Politik

17 Januari 2019   11:15 Diperbarui: 17 Januari 2019   13:44 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pidato kebangsaan, yang secara istilah saja belepotan pemakaiannya, pun isi, secara substansi hanya menebar ketakutan, kecemasan, dan kekhawatiran di dalam hidup bersama. Indonesia menang, ini bicara konteks apa? Kalau sepak bola bolehlah, kalau negara dan bangsa Indonesia secara umum, menang terhadap siapa dan apa?

Beberapa point yang perlu dicermati, sebelum masuk pada komentar Fahri Hamzah, soal kekuatan militer dan pertahanan. Capres ini pesimis karena mengandalkan peluru yang klaimnya hanya bertahan tiga hari. Ternyata ia lupa sejarah, siapa sih yang membayangkan bambu runcing dan amunisi dan senjata rampasan bisa mengusir Belanda, bahkan Inggris dan Amerika, zaman pergerakan kemerdekaan.

Belum lagi jika berbicara menurut lembaga yang kredibel bagaimana peringkat militer dengan berbagai-bagai instrumennya, toh cukup kuat di dunia apalagi jika hanya Asia.  Jelas point klaim ini salah dan payah. Miris sebenarnya, jauh lebih keren jika ia mengatakan pasukan-pasukan elit yang diakui dunia, termasuk polisi di dalam mengatasi terorisme, ingat buruan Amrik pun tertangkap di sini.

Mengenai hutan rusak, ini jelas nanti perlu menjadi artikel tersendiri, tetapi cukup menjadi titik masuk dalam pembahasan komentar Fahri Hamzah. Mengenai hutan melibatkan banyak kolega koalisi ini. Selain soal  izin alih guna hutan, kebakaran hutan, juga pemilik industri berbasis kayu, dan kog ada di sana semua ya. Beberapa negara Asean dulu sering ngamuk karena mereka panen asap tiap musim kemarau, hayo zaman siapa?

Eh tiba-tiba, akan, membuat jutaan hektar hutan rusak untuk ini dan itu. Baiklah itu jelas perbuatan dan rancangan mulia, namun ketika para "perusak" dan penguasa atas kerusakan itu ada di sana, lha apa bukan malah memercik muka sendiri. Seolah pemerintahan kini yang berbuat itu semua. Baik, hanya lupa fakta saja.

Akan, juga sangat dominan, memang mereka belum menjalankan roda pemerintahan, namun ini jelas memberikan bukti jika mereka sendiri malah tidak yakin. Berbeda jika mereka mengatakan pemerintahan kami menjalan program bla..bla..bla... Sama-sama belum terjadi namun jelas dan pasti memiliki keyakian di sana. 

Wajar jika Fahri Hamzah berkomentar begitu.  Dua hal cukup kuat dan mendasar bagaimana politik mereka dijalankan. Pertama, menakutkan, artinya apa yang mereka sajikan itu teror, ketakutan, kecemasan, dan kegelisahan. Bagaimana memasukan  kejahatan terorisme sebagai kejahatan luar biasa namun mereka juga pelaku dalam arti sempit dan khusus.

Ketakutan itu jelas sama dengan terorisme. Teror untuk menciptakan ketakutan dan kecemasan. Jangan dipersempit dengan dar der dor bom dan penyulikan, atau pembunuhan misterius saja, namun perilaku menciptakan kecemasan dan ketakutan juga teror namanya. Lebih mengerikan karena otak dan psikologis yang ditakut-takuti.

Kedua, musuh, kog aneh, sekelas pimpinan dewan, sekelas koalisi yang mengusung jagoannya untuk menjadi presiden memandang rival politik kog sebagai musuh. Memang mirip arti musuh dan rival, namun nuansa, rasa, dan subyektifisme makna memberikan perbedaan cukup jelas. Rival jelas lebih netral karena tidak adanya unsur menyerang dan meniadakan demi kemenangan itu.

Lihat pertandingan itu meskipun berlawanan namun mereka ada net, ada hakim, ada wasit, ada juri yang akan membuat pertandingan itu berjalan sportif.  Rival, lawan, itu bukan musuh yang bisa diperlakukan seenaknya sendiri. Gulat dan tinju yang jelas-jelas adu fisik saja ada aturannya, ada rambu-rambunya, dan yang pasti lawan itu bukan musuh yang tidak dihormati. Ada sikap respek pada lawan, bukan musuh.

Sedikit liar dalam berspekulasi akan arti pernyataan ini, apakah ini gambaran bawah sadar mereka memang memberlakukan dengan menciptakan ketakutan dan musuh lah kubu lain itu? Namun bisa benar juga jika melihat rekam jejak cara mereka berkampanye selama ini.

Musuh. Rival sebagai rekan sejalan, sesama dan bahkan bersama menuju pada satu tujuan yang sama itu dimaknai lain. beberapa hal bisa disebutkan sebagai pemaknaan musuh itu.

Satu, soal rupiah yang naik turun beberapa waktu lalu, itu kondisi global, bukan hanya rupiah. Jika jernih dna obeyktif tentu akan bersama-sama mencari jalan keluar. Karena melihat itu sebagai musuh dan kesempatan untuk "membinasakan" musuh, meluncurlah tudingan pemerintah tidak becus. Diam seribu bahasa ketika kini rupiah sangat perkasa di hadapan mata uang lain.

Dua, mengenai hutang negara. Data yang disampaikan ada yang dippenggal, penggunaan yang tidak dinyatakan dengan semestinya. Mengapa demikian? Karena melihat rekan seperjalanan itu musuh dan bisa takluk jika isu hutang dihembuskan dengan kencang.

Ketakutan. Ketakutan juga kecemasan, sikap pesimis, khawatir didengung-dengungkan. Hal ini juga berkaitan di dalam melihat rival dalam pilres itu sebagai musuh.  Berapa kali saja mengatakan negara akan punah. Mendramatisir kejadian yang di mana-mana toh terjadi, soal bunuh diri dibarengi narasi soal kemampuan ekonomi dan kesejahteraan. Memang ada negara di dunia ini semua penduduknya sejahtera?

Mengenai ekonomi sulit, yang sudah dibantah oleh sikap dan pilihan hidup mereka yang ada di dalam koalisi mereka.  Pergi dengan jet pribadi. Menyumbang dana kampanye hampir 40 M, dan coba jika itu dipakai untuk panti asuhan coba? Apa mereka mau?

Dua kali saya mengutip pernyataan Hasto Sekjend PDI-P yang mengatakan pemilu dan demokrasi itu mau menang atau kalah itu ada batasnya, periode menang dan periode kalah, mengapa harus menghabiskan energi hanya untuk pemilu dengan permusuhan. Hal yang cukup bijak direnungkan di dalam keadaan kampanye dan pemilu yang seolah-olah adalah akhir segalanya.

Menang dan kalah itu natural dalam pemilu, bukan hanya soal menang namun juga tanggung jawab untuk bangsa dan negara. Masih perlu banyak belajar berdemokrasi tampaknya.

Terima Kasih dan Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun