Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

Demokrat, Bukan Kebiasaannya Nge-Hoaks

15 Januari 2019   11:00 Diperbarui: 12 Maret 2019   11:43 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Andi Arief dan Demokrat sedang kalang kabut karena tabiat baru yang dibawa elitnya, Andi Arief yang kog serasa ikut arus budaya koalisinya. Cukup menarik tampilan Andi Arief dalam menyikapi pemilu mendatang ini. mengapa pemilu, bukan pilpres? Posisi Demokrat itu jauh lebih mempertontonkan asal-asalan dalam koalisi, dan jelas realistis mengusung kampanye pileg. Mereka enggan untuk hilang dari peredaran dan malah membesarkan parpol sebelah.

Koalisi teman sekaligus lawan yang harus cerdik-cerdik memainkan peran. Apalagi memiliki banyak irisan atau singgungan pemilih. Keluarga besar militer khususnya angkatan darat. Ada Prabowo dan kawan-kawan di Gerindra, ada pula SBY dan AHY bagi Demokrat. Mereka kawan dalam koalisi pilpres dan sekaligus rival untuk pileg.

Irisan kedua soal pemilih milenial, dengan adanya AHY bagi Demokrat dan Sandiaga Uno bagi Gerindra. Tampilan dan jualan yang relatif sama, dan kecenderungan ke depan identik, ini jelas memberikan rivalitas yang cukup sengit. Di atas lapangan jelas kawan koalisi, toh di belakang mereka ini rival sejati. Dilema juga mau mengembangkan yang mana, dan itu jelas pilihan cerdik harus dimainkan.

AA Pelaku Utama  Antagonisnya Demokrat, namun  Protagonisnya Koalisi

Hal yang cukup cerdik dilakoni  Demokrat, dengan melepas Andi Arief dengan sokongan Ferdinan H, dan celetukan elit lain sebagai penggembira. Yang jelas hanya mereka berdua yang bersikap antiarus utama Demokrat. Membaca hal ini seolah adanya "pembiaran" oleh SBY jelas bahwa ini sudah menjadi bagian dari cara berkampanye mereka.

Pilihan untuk menampilkan searah garis koalisi jelas cukup jitu, di mana mereka bisa bersama-sama dengan di dalam gerbong pilpres. Mereka enggan dikatakan tidak semanagt dan enggan untuk kampanye bagi capres mereka. Perilaku main dua kaki dan cari aman yang khas Demokrat kembali menguat. Mereka tetap dalam koridor di dalam orkestrasi kebohongan ala koalisinya, tetapi partai Demokrat yang tetap santun ada di dalam gerbong SBY-AHY.

Efek ganda diperoleh dengan demikian, pilpres mereka jelas enggan membesarkan rival, tetapi jelas tidak elok jika tidak terlibat penuh. Hitung-hitungan cerdik, jika menang tetap dapat jatah, kalau kalah, partai tetap masih cukup kuat berakar.  Mereka jelas tidak  mau membesarkan rekan sekaligus rival di dalam pilres.

Celetukan dan pernyataan aneh-aneh AA hanyalah promosi Demokrat dengan cara koalisi. Soal koalisi mana pernah mereka berbicara dengan lugas dan jelas. Sama sekali tidak ada. Lihat saja keputusan untuk membiarkan elit daerah mendukung paslon rival, gambaran konkret politik mereka.

Pilihan cerdik telah dipilih, namun ternyata masih perlu belajar banyak menggunakan hoax, dan model kebohongan itu. Demokrat bukan ahlinya, mereka belepotan, kedodoran, dan akhirnya mau keluar malah makin terbenam. Lumpur kebohongan habitat baru yang belum mereka kenal medannya dengan baik.

Perseteruan dengan banyak pihak jelas merugikan Demokrat sendiri. Lihat saja bagaimana AA malah bertikai dengan Mahfud  MD yang malah menyiram saus ke muka SBY soal  kecurangan surat suara. Faktanya UU itu  memang zaman SBY. Cara berkelit yang malah membuat parah keadaan, menyeret semua yang dirasa membahayakan dirinya. Lihat cara kolega mereka ketika menebar kebohongan, langsung tidak peduli begitu saja, hanya gertak sambal sesekali untuk formalitas. Lebih cenderung tidak peduli, sebagaimana  kebohongan mereka itu.

Menyeret persoalan ke ranah hukum pilihan parah dan payah, kolega mereka yang sudah ahli tidak demikian, hanya akan memberikan kebohongan baru. Di sini peran jam terbang dan kebiasaan yang belum Demokrat  pahami.

Kerja sendirian, ini lagi-lagi model kebohongan unik, di mana ia tidak menyiapkan tim untuk menggaungkan. Hanya model sesaat, hapus, dan polemik. Tidak ada model demikian dari kolega koalisi 02 berbuat demikian. AA masih perlu belajar dari master hoax, jika demikian.

Politik Terate ala Demokrat

Politik santun yang diusung Demokrat hingga kini masih demikian kuat dipertahankan. Beberapa waktu lalu SBY masih turun tangan memintakan maaf pernyataan elitnya sodal tudingan perpindahan kader di daerah. Sama halnya dengan teguran untuk Roy Suryo, namun soal AA ini diam seribu bahasa, padahal melebar ke mana-mana, bahkan sudah mulai memerdik muka SBY.

Politik santun tetap terjaga, seperti bunga dan daun terate yang demikian segar, indah, dan semarak di permukaan, padahal batang kecil  panjangnya, menjangkau lumpur jauh tidak terlihat mata. Jika ada apa-apa yang menyasar kelurga inti, tentu akan dengan enteng, potong dan lumpur itu tetap lumpur di dasar danau sana. Masuk bui dan lumpur kotor politik, terate tetap dengan daun hijau dan bunga indahnya.

Anas sudah merasakan penggalan di batangnya. Besan sendiri pun dimasukan penjara demi menopang indahnya bunga yang dikagumi banyak pihak. Sangat biasa dalam organisasi ada tim sapu jagad yang bekerja keras, kotor, dan kalau tidak beruntung ya juga akan "dilenyapkan".

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun