Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Megawati Tidak Dendam pada Soeharto?

11 Januari 2019   12:28 Diperbarui: 11 Januari 2019   13:18 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sikap balas dendam tidak akan ada habis-habisnya, negara justru akan kehilangan banyak potensi  yang terbuang hanya karena kebencian dan kepentingan pribadi dan kelompok. Hal positif dan baik yang patut mendapatkan apresiasi. Alasan itu tersedia, toh dipilih untuk tidak dibesar-besarkan dan bisa menjadi kekuatan jika berbicara untuk memperoleh kekuasaan semata.

Pembelajaran sakit hati yang ia terima itu tidak ditularkan bagi bangsa dan negara secara keseluruhan. Pengalaman buruk yang ia jadikan bahan untuk menjadi politikus berkarakter, ini dibuktikan di dalam bernegara. Pimpinan oposisi yang bermartabat meskipun menang pemilu diperlakukan dengan tidak adil juga bersikap normatif, tidak melakukan boikot dengan kekuatan jumlah kursi dan sejenisnya.

Dalam sebuah tayangan media, Sekjend PDI-P, Hasto mengatakan, mau menang atau kalah pemilu itu lima tahun, menang lima tahun, kalah juga lima tahun. Semua ada periodenya, semua ada waktunya, dan semuanya terbatas. Mengapa menghabiskan energi yang seolah-olah itu kekal dan akan tak terbatas.  Ini jelas representasi kematangan di dalam berpolitik, di mana di tengah gempuran politik yang menggunakan segala cara, dan fokus hanya pada kursi dan kekuasaan semata.

Menumbuhkan dan menghidupkan karakter menjadi sebentuk upaya baik di antara pembunuhan karakter yang tidak ada habis-habisnya. Kampanye mengandalkan kebohongan, menebar fitnah, mengubah persepsi dengan data yang diselewengkan, dan aneka pilihan buruk lainnya.

Pemilu mengandalkan sentimen SARA yang penting menang dan melupakan esensi pesta dalam demokrasi. Perang dan pertempuran sebagai wacana dalam pemilu adalah jelas mengerdilkan karakter bangsa yang sedang menapaki dunia demokrasi yang seharusnya menggembirakan, menyenangkan, dan memberikan harapan.

Ada pilihan di depan mata, bagaimana mau memilih menumbuhkan atau membunuh karakter anak bangsa? Itu semua ada di tangan kita.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun