Menarik akhir tahun disuguhi pernyataan menggelitik. Awalnya sih mengatakan kritik bagi penyediaan dan pertanggung jawaban kesehatan oleh pemerintah bagi rakyatnya. Cukup banyak hal yang bisa ditelisik lebih jauh dengan pernyataan tersebut. Bagaimana melibatkan RSCM, BPJS, dan muaranya adalah pemerintah.
RSCM dengan selang itu hanya titik point untuk mengritik BPJS dan ujungnya adalah pemaerintah. Cukup menggelitik cara pandang model calon pemimpin jika demikian. Mengapa? Â BJS itu bukan tiba-tiba ada oleh pemerintahan kali ini, sudah lama, dan itu juga terlibat di dalam kebersamaan yang mengatakan bagaimana "buruknya" kinerja BPJS dan akhirnya RSCM. Intinya bukan RSCM dengan tunjangan BPJS, tapi pemerintah, khususnya Jokowi.
Pemerintahan itu berkelanajutan. Salah besar sebenarnya mengatakan mantan presiden, jika demikian, ini sudah berkali ulangg saya jadikan ulasan, orang bisa menyalahkan presiden dan pemerintahan sebelumnya, atau si presiden lama bisa merasa tidak terlibat di dalam keadaan selanjutnya.
Mirisnya kalau baik merasa ikut terlibat namun kalau buruk hanya menuding pihak lain. Presiden lampau cuci tangan jika masalah, namun jika prestasi merasa ikut andil. Pun presiden sedang menjalankan roda pemerintahan bisa menuding kegagalan adalah pihak sebelumnya, jika sukses itu karyanya sendiri. Salah besar.
Program jalinan sosial ini rangkaian panjang oleh pemerintahan negeri ini. Ada peran SBY baik sukses aau gagal, sama juga KTP-el, kekacauan toh di awal, di masa siapa hayo? Pun jika defisit di dalam pengelolaan BPJS apa iya hanya pemerintahan saat ini saja? Toh pola perilaku, tabiat anak bangsa itu terbentuk sangat lama.
Nyinyiran untuk BPJS ini sejatinya hanya perasaan iri, dengki, dan tidak terima mengapa yang dapat "kesuksesan" dan memperoleh point baiknya pemerintahan sekarang. Sekali lagi ini karena paradigma, pola pikir, dan kebiasaan lama di mana melihat pemerintahankulah yang paling hebat, padahal tidak demikian. Ingat prestasi, mercusuar itu akan dikenang meskipun tidak akan berteriak-teriak untuk diakui. Tetap ada peran yang telah meletakan pondasi.
Capres yang teriak-teriak bahwa pemerintah ini gagal, apapun dilabeli dengan gagal juga snagat menakutkan jika diberi kepercayaan. Mengapa? Orang model ini takut bayang-bayang. Jadi model pemerintahan sapu bersih era lalu, karena takut kalah bersinar. Lihat pemerintahan Jakarta yang merusak apa yang sudah baik, hanya karena memang tidak mau terlihat tidak bisa.
Fokusnya hanya yang penting adalah aku, keakuan, di mana kemegahan pribadi sendiri yang menjadi tolok ukur kesuksesan. Mirisnya adalah dengan merusak hasil, produk, dan gagasan baik karena merasa bisa tenggelam kebesaran dirinya. Ini sejatinya menunjukkan jiwa kerdil dan manusia lemah yang merangsek demi eksistensi diri sendiri, bukan berpikir soal negara dan rakyat.
Selang untuk hemodialis yang receh itu dimanfaatkan untuk menyerang kubu rival yang susah dihentikan reputasinya yang makin naik. Kinerja dan prestasi yang memang dirancang, dilakukan, dan dijalani dengan sepenuh hati. Fatalnya adalah selang itu hanya receh yang hendak dipakai untuk mengeruk keuntungan pribadi. Padahal gaya hidupnya saja jauh dari keprihatinan yang ia nyatakan.
Apa yang ia katakan dan apa yang ia lakukan itu jelas bertolak belakang. Seorang pemimpin, calon pemimpin, dan maju menawarkan diri jadi pemimpin, namun masih beda antara ucapan dan tindakan. Bung Karno yang ia jadikan tipologi dalam berpakaian dan cara berorasi itu mengatakan pemimpin itu satu di dalam perkataan dan perbuatan. Ternyata masih duplikasi label bukan isi. Jadi tahu sendiri kualitasnya bukan?
SBY sebagai sesepuh, pepunden karena selalu yang ia dengungkan sukses dua kali pemilihan itu, harusnya bisa memberikan nasihat, wejangan bijak, dan peringatan jika rekannya yang gantian mau menikmati kekuasaan itu melenceng. Namun nyatanya ia sendiri gagal mengatasi post power syndrome-nya. Apa yang ia katakan sering adalah pemimpin yang merasa takut kalah moncer, takut penggantinya lebih sukses, dan takut ia dilupakan.
Miris memang ketika dua eyang yang sudah mandeg pandhita, malah masih pecicilan mengejar kekuasaan. Mereka sudah seharusnya bijaksana, melihat segala sesuatunya dengan kepala dna hati yang adem, bukan lagi emosional, marah-marah tidak jelas. Mereka sudah sepuh, bukan lagi kanak-kanak yang marah karena mainannya dipinjam teman, atau anak yang kalah bagus mainannya dari rekan sepermainannya.
Cara pandang pemerintahan seolah milik, seolah sepenggal-sepenggal, dan merebut kursi demi kemegahan diri ini jelas masih memperlihatkan kualitas diri pemimpin itu. Bagaimana mereka akan susah bekerja maksimal. Mereka ketakutan atas bayangan yang sejatinya ia ciptakan sendiri. Hatinya tidka tenang karena selalu akan memikirkan kata orang.
Mereka tidak akan lepas bebas karena pemerintahan sebelumnya perlu dibersihkan sehingga tidak akan membayangi pemerintahannya. Berapa energi, waktu, beaya, dan akhirnya itu semua merugikan dan malah cenderung merusak. Fokusnya bukan pembangunan, namun membersihkan ilusi si mantan. Hitung saja jika itu perlu setahun, kapan membangunnya?
Tahun keempat sudah paranoid, ketakutan, cemas, jangan-jangan ia dilupakan, penggantinya harus orang kepercayaannya, yang tidak akan menenggelamkannya. Bayang-bayang yang lagi-lagi adalah ilusi dan ciptaannya sendiri. Habis energi dan kesempatannya bukan? Tidak ada pemikiran untuk rakyat dan negara jika demikian.
Perlu menyadari, bahwa pemerintahan itu sebuah sistem, yang bekerja iu sistem, orang, pelaku hanyalah pengendali atas sistem itu. Pelaku berganti ya biasa saja, berjalan sebagaimana mestinya. Sebuah kondisi yang normal dan alamiah.
Prestasi itu akan dicatat dengan tinta emas, bukan teriak-teriak meminta pengakuan. Siapa yang berteriak meminta pengakuan dan melemahkan capaian pihak lain? Jelas pribadi  yang memang miskin prestasi. Takut terlupakan karena saking sedikitnya torehan prestasi.
Sayang bukan seorang pemimpin kog seperti anak abg labil begitu. Masih tahap pencarian jati diri, menyalahkan pihak lain untuk menaikan citra diri. Masih perlu mendewasakan diri tampaknya. Tua karena makanan jasmani, bukan rohani dan spiritual yang membuat dewasa dan bijaksana. Tuwa kesurung sega. Jelas berbeda tua bijaksana atau bocah tua karena usia.
Celotehan soal selang ini hanya lah alat, sarana, cara saja, yang jelas orientasinya untuk mendeskreditkan pemerintah, Jokowi sebagai rival, bukan soal kualitas RS atau penyelenggara jaminan kesehatannya. Dan jelas telah gagal karena memang kebencian bukan kebenaran.
Jangan kaget akan lahir ujaran-ujaran lain yang ujung-ujungnya tetap saja  pemerintah salah dan dialah pahlawan  yang akan menyelamatkan. Apa iya bisa, nyatanya hanya selalu begitu-begitu saja. Tidak ada yang bisa digunakan untuk meyakinkan kog, artinya hanya menjadi buah bibir kosong semata. Tidak ada nilai yang terkandung di sana. Ketakutan pun pepesan kosong semata.
Rakyat makin cerdas, jadi ikutlah cerdas, jangan ajak-ajak yang sudah cerdas maaf ikut oon dan bloon. Sudah tidak kaget lagi.
Apa yang dilontarkan kini maknai saja sebagai lelucon di tengah pesta rakyat, bukan teror untuk pilpres. Semua tidak akan mempengaruhi bangsaku.
Terima kasih dan salam.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI