Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Vigilantisme, antara Lemahnya Penegakan Hukum dan Pembiaran

2 Januari 2019   05:00 Diperbarui: 2 Januari 2019   05:35 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aksi-aksi vigilantisme, sweeping, atas nama kepentingan umum atau agama, menciptakan laskar-laskar, dan sipil bergaya militer, untuk menegakan hukum ala mereka. Dan mirisnya mereka tidak jarang dikawal oleh aparat penegak hukum yang memang penegak hukum berdasarkan UU. Aneh dan lucu sebenarnya tapi itu benar-benar terjadi.

Beberapa waktu lalu, hal ini sangat marak, di mana polisi mengawal, atau memberikan "pendampingan" atas nama agar tidak jatuh korban lebih banyak. Hal yang aneh sebenarnya di mana mereka sebagai penegak hukum, "ketakutan" dan keok terhadap ormas dengan rasionalisasi demi menjaga keamanan.

Sikap permisif dan normatif, basa-basi masih lebih kuat daripada penegakan hukum. Kadang naif, mengatakan penjara penuh, dan enggan bekerja keras sesuai dengan perundang-undangan. Potong kompas, termasuk dalam penyelesaian dan kemudian meminta maaf dan pola terulang.

Ketiga, Merasa Paling.

Sikap pembiaran memberikan peluang, angin segar, dan kesempatan untuk kelompok, pribadi, dan orang-orang yang merasa lebih dari pada yang lain. Merasa paling benar sehingga melahirkan arogansi jalanan, lihat saja di mana-mana pola berkendara dan lalu lintas adalah yang berani akan menang, bukan soal taat aturan. Arogansi bisa karena seragam, lihat militer, polisi, atau siapapun berseragam kadang bisa menjadi hukum di tengah lingkungan hidup kita.

Merasa benar lebih mengerikan jika mengartikan dalam konteks membela Tuhan dan agama. Ini bukan soal hidup dengan agama yang berbeda, bahkan kadang dengan yang seagama saja juga melakukan intimidasi, menghakimi, dan menuding pihak lain harus ikut  yang kuat dan banyak. Ini surga bagi pelaku vigilantisme, namun neraka bagi penganut dan kelompok yang berbeda namun kecil.

Kebenaran, di mana benar, merasa paling benar dalam konteks merasa paling saleh, suci, dan penafsir tunggal atas dogma dalam hidup beragama. Benturan dan akhirnya persekusi dan vigilantisme menjadi-jadi karena peluang itu terbuka karena penegakan hukum bisa kalah atas tekanan massa, dan masih adanya keberpihakan atas kelompok-kelompok tertentu.

Paling dalam arti, paling berhak   atas bangsa, daerah, atau kesempatan, di mana orang bisa menjadi penegak hukum atas pakaian, sikap, dan kebiasaan seseorang. Parameternya hanya karena berbeda dengan apa yang ia atau mereka yakini. Contohnya banyak kita temukan dalam mensin pencari jika kita kau mencari data.

Keberadaan hidup bersama kita masih seperti ini, memang perlu disadari, diterima, dan perlu perbaikan di sana-sini. Eforia usai Orba yang otoriter dan penuh tekanan, sangat wajar timbul kelompok-kelompok merasa paling dan mau menegakan hukum atas tafsir mereka. Harapan bahwa akan menuju hidup bersama yang saling menhormati, saling menghargai, tanpa diskriminasi, dan penegak hukum yang diatur UU akan terjadi.

Terima kasih dan salam

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun