Ketika banjir teriak-teriak, pemerintah ke mana, dibangunnya bendungan malah dicela sebagai rakyat tidak butuh beton. Ini pola pikir yang maaf memalukan bagi bangsa yang sudah merdeka hampr 74 tahun. Bayangkan saja, pembangunan itu kesinambungan dan saling berkaitan. Tidak mungkin tidak, karena toh karena memang harus menyelesaikan masalah itu harus dari akarnya. Pola pikir instan dan sektarian membuat semua amburadul dan bisa jadi bencana baru.
Salah sati capres berbalas pantun soal pembangunan yang ditudingkan tidak sampai ke desa-desa, cawapres satunya menjawab, bahwa pemerintah pusat membangun yang utama, dan pemerintah daerah, kabupaten-kota yang membangu dari desa dan kelurahan. Ternyata cawapres ini belum baca koran, di mana salah satu desa di Tasikmalaya memiliki lapangan sepak bola di desa dengan rumput kualifikasi FIFA, dengan memanfaatkan dana desa.
Ini salah satu bukti di mana level cawapres saja pengetahuannya masih sempit, parsial, dan  tidak bisa melihat secara jernih. Pembangunan di desa-desa cukup masif, kalau mau sakit hati cek dan bandingkan dengan periode yang sama oleh pemerintahan sebelumnya, cek juga secara kasat mata di lingkungan masing-masing saja.
Kegunaan infrastruktur itu membuat efisiensi dan efektif dalam banyak hal, namun memang ada perilaku tertentu yang masih berparadigma lama, di mana yang bisa dibuat lama mengapa harus cepat. Di sinilah peran kehendak baik dari pemerintah untuk tetap melaju dengan gagasan, meskipun yang mengatasnamakan oposisi memilih terus menuding. Anjing menggonggong kalifah berlaku ternyata cukup penting juga.
Bagaimana perjalanan puluhan jam bisa dipangkas menjadi hitungan jam, berapa banyak BBM yang  bisa dihemat dan itu berkaitan dengan alam dan lingkungan. Ternyata yang teriak lantang itu sejatinya menikmati kemudahan, namun pada sisi lain jengkel karena keuntungan dari selisih harga impor dan penggunaan BBM itu tergerus. Artinya kepentingannya terganggu bukan karena pembangunannya yang keliru.
Ketika rancangan pembangunan yang efisien dituduh ngawur, menghambur-hamburkan uang, namun juga menuding pemborosan anggaran untuk subsidi BBM, mana yang mau dipercaya coba. Pilihan berat memang harus diambil dan toh semua baik-baik saja. Pemimpin itu tidak akan bisa menyenangkan semua pihak, dan keberanian untuk tetap mengambil keputusan itu menjadi penting dan itulah kualitas.
Pilihan saya dan pilihan Anda yang berkisar pada 53 % itu masih dibutuhkan untuk ke depan, bahkan perlu juga ditambahkan karena masih banyak "kampanye" jahat yang dilakukan karena terganggunya kepentingan mereka yang selama ini masih enak-enakan memainkan anggaran untuk kepentingan sendiri dan kelompok. Â Selengkapnya sudah saya ulas dalam artikel berikut.
Pilihan saya dan Anda tepat, di mana ada presiden yang jerih membayangkan pengambilalihan Free Port, ketika kini bisa direalisasikan membuat wacana dan narasi kalau pilihan ini salah. Pilihan kita tepat, pemerintahan kali ini berani dan tidak takut atas gambaran dan bayangan yang belum terjadi. sekali lagi ini adalah kualitas, berani mengambil risiko yang sudah diperhitungkan dengan masak.
Pilihan yang tepat, di mana Swis yang biasanya menjadi surga bagi para penyuci uang, kini mau berbagi informasi. Diikuti Singapura yang memang meminta syarat adanya kerjasama dengan Swis terlebih dahulu. Panas dingin pihak-pihak yang memiliki banyak harta namun memarkir demi anak cucunya sendiri. Kalau memang usaha keras mereka sendiri sih, ya silakan, ini lebih banyak hasil maling dan mengeruk kekayaan negeri. Dan mereka inilah yang membuat narasi negara gagal, punah, dan sejenisnya.
Bangsa ini bangsa besar, jangan gamang hanya karena adanya ketakutan yang diciptakan oleh politikus miskin prestasi. Kebesaran bangsa itu selain pada pemimpin juga rakyat yang memilih untuk berubah dan maju.
Terima kasih dan salam