Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Politik

PKS Lagi-lagi Abstain dalam Drama Natal Prabowo

29 Desember 2018   05:00 Diperbarui: 29 Desember 2018   06:11 855
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Drama Natal yang dilakoni Prabowo  itu sebenarny tidak ada hal yang luar biasa. Ini negara Pancasila, sepakat apa yang dinyatakan salah seolah elit TKN, bahwa hal itu tidak perlu diperpanjang. Sepakat. Hal yang perlu dilihat dan dicermati itu pola mereka, kebiasaan mereka yang mengaitkan agama, atau isu agama, namun jika mereka yang mendua biasa-biasa saja. Sikap munafik dan mendua ini yang perlu dicermati, kebetulan adalah moment Natal yang menjadi sarananya.

Ramai-ramai membela diri dan meluruskan apa yang telanjur viral di mana Prabowo girang bukan alang kepalang di dalam acara keluarga di dalam merayakan Natal. Cukup wajar para pengusung dan pendukung itu mencoba memberikan klarifikasi, pembelaan, dan memberikan sebuah upaya membela diri. Mengapa demikian? Ya karena  kebiasaan mereka saja yang demikian, jadi mengukur dengan ukurannya sendiri. Wajar.

Indonesia adalah Negara Pancasila dan memiliki UUD '45 apa yang dilakukan tidak ada yang dilanggar, sah, dan sangat baik di alam demokrasi ugal-ugalan bisa ada pelaku yang biasanya diteriaki oleh lingkarannya. Kini bermain air terpercik muka sendiri. Main api kebakar, dan tergulung bola salju yang ia ciptakan.

Syukur bahwa TKN menyatakan, jangan besar---besarkan, toh itu hal yang lumrah dan wajar, apalagi ini Indonesia yang beragam. Cukup menarik apa yang justru disampaikan kubu rival, yang biasanya mereka diserang, kini mereka membuat momentum ini sebagai pembelajaran bersama untuk berdemokrasi secara  sportif.

Pihak yang bak kebakaran jenggot sejatinya adalah yang biasa melakukan itu untuk kepentingan sesaat. Langsung saja gegap gempita untuk membela karena lagi-lagi soal kebiasaan, takarannya untuk kelompoknya, sebagaimana ia lakukan ke rival.

Koalisi itu seolah tubuh, di mana satu bagian tubuh sakit, semua merasakan hal yang sama. Coba jika jari kaki paling ujung dan bawah sana ada yang tertusuk duri, otak di bagian kepala paling atas pun merasakan, tubuh bisa meriang dan demam, jari bengkak itu, nyerinya ke mana-mana. Badan itu satu kesatuan utuh, tidak bisa mengatakan kalau kaki yang sakit, ya salah sendiri tidak memperhatikan sekitar.

Mana bisa kaki menderita namun mata mengatakan demikian, padahal kan mata yang berperan untuk menyaksikan duri, dan memerintahkan otak untuk mengarahkan kaki menghindari duri tersebut. Itu namanya koordinasi yang sinergis.

Nah ternyata koalisi ini tidak demikian. Salah satu organ koalisi ini diam saja, PKS tanpa reaksi sama sekali. Serba salah bagi PKS dengan perilaku capresnya ini. Pertimbangan  yang perlu dilakukan dengan masak agar tidak jadi masalah bagi mereka sendiri.  Jelas ada hal yang tidak sinergis, koordinasi yang tidak semestinya.

PKS memang tidak pernah menyatakan ucapan Natal itu boleh atau tidak, hanya memang di dalam organ mereka ada pro dan kontra, namun keputusan akhir ikut MUI. Soal ini hanya menjadi salah satu indikator di mana, biasanya paling getol mengaitkan apa-apa dengan agama. Label yang seolah adalah  sudah paling benar, paling suci dan saleh, paling menjunjung tinggi moral agama.

Namun reputasi mereka toh sama-sama bisa dilihat seperti apa. Korupsi juga hal yang biasa, seolah bukan  permasalahan yang mendasar bagi mereka. Mengubah persepsi massa dengan pernyataan mereka, tidak jarang sesat pun seolah hal yang wajar, tidak pernah menjadi pertimbangan matang.

Mereka juga yang getol mengatakan bahwa calon presiden mereka adalah yang direkomendasikan oleh ulama, dalam ijtima ulama. Nama-nama yang masuk dalam rekomendasi mereka, yang anggota parpol  cenderung banyak dari partai yang satu ini.  Ada kesamaan  gagasan dan arah, paling tidak.

Cukup logis juga, ketika para ulama itu akan merekomendasikan sesama di antara mereka, kalangan ulama, paling tidak juga orang yang pengetahuan agamanya cukup lah. Wakaupun bukan sekelas ulama atau pakar agama, namun paling tidak, masih bisa lah untuk urusan ibadah yang mendasar.  Aneh juga jika yang diajukan malah jauh dari itu semua. Level abangan, cenderung sekuler, susah untuk yakin bahwa mereka paham pengetahuan dasar  agama, apalagi jika baca tulis Quran. Iqro' saja ragu jika sudah lulus.

Apa yang dilakukan dalam percayaan Natal ini sebenarnya bukan barang baru, mengagetkan, atau menjadi pertanyaan, hanya sebuah pengulangan dari apa yang memang menjadi gaya dan lagak koalisi mereka. Ada dua hal yang patut menjadi catatan penting.

Pertama kondisi dan sikap PKS. Bagaimana mereka diam saja, pura-pura tidak melihat apa yang dilakukan capres mereka, baik yang kontra atau pro ucapan Natal. Tidak semata soal ucapan Natal saja, namun juga polemik menjadi imam shalat. Mereka diam seribu bahasa. Tidak memberikan pembelaan ataupun perlindungan atas calon mereka yang terpojok.

Sangat bisa dipahami mereka bersikap demikian karena mereka tidak berani dengan konsekuensi atas DKI-2. Ini menyandera mereka untuk bersikap kritis dan menyuarakan kebenaran dan keyakinan mereka selama ini.

Apa yang dipertontonkan PKS dengan keberadaan dan perilaku capres ini, sebenarnya gambaran jelas bagaimana sikap mereka pada capresnya. Mereka tidak akan berani kritis jika ada perilaku menyimpang dari calon mereka, apapun yang terjadi. Jelas berbahaya. Sikap kristis itu penting.

PKS juga ketakutan karena DKI-2. Nah lagi-lagi fokus adalah kekuasaan. Sikap kritis menjadi hilang karena tersandera kepentingan kursi dan kekuasaan. Padahal ini  kepentingan daerah, bangsa dan negara. Bagaimana jika bangsa dan negara serta daerah itu bisa tersandera kepentingan segelintir elit dan parpol karena keinginan mereka menjadi fokus dan prioritas.

Kedua, adalah sikap  standar ganda atau bahasa sarkasmenya munafik. Di mana hal itu dilakukan biasa saja jika kelompok sendiri dan jika itu adalah rival akan dijadikan gorengan terus menerus. Tidak jarang berlebihan dan tidak berkaitan pun dikait-kaitkan.

Standar ganda ini seolah juga menjadi gaya berpolitik mereka. Kerap kali rekam jejak memberikan gambaran jelas dan bukti, di mana ini adalah pilihan mereka. Pola politik mereka yang sangat biasa menerapkan hal buruk jika dilakukan rival, namun dianggap biasa, bahkan baik-baik saja jika itu perilaku mereka.

Beberapa bukti bisa disebutkan. Pembelaan perilaku kriminal, karena itu menguntungkan mereka, mereka bela mati-matian. Bisa dinyatakan ada kasus Ratna Sarumpaet, kekerasan yang tidak jelas dikaitkan pemerintah, ketika ketahuan langsung meninggalkan RS sendirian. Peristiwa yang identik kasus BS, di mana  guru melakukan kekerasan pada murid pun dibela bahwa pemerintah yang berlebihan.

Kejadian itu hanya contoh, masih begitu banyak dan berderet-deret jika mau disebutkan. Artinya bahwa ini memang gaya berpolitik mereka.  Termasuk soal Natalan ala capres mereka, entah ini jika dilakukan Jokowi, toh mereka juga sudah mengedit cawapres dengan pakaian identik Natal.

Sinergisitas angggota tubuh merupakan gambaran yang bisa memperlihatkan alur pikir koalisi. Jika ada yang membuat demam, ada pula upaya untuk memperbaiki keadaan. Bagaimana jika koalisi malah memilih membiarkan persoalan menjadi liar? Apa iya mau dipercaya dan diyakini?

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun