Cukup logis juga, ketika para ulama itu akan merekomendasikan sesama di antara mereka, kalangan ulama, paling tidak juga orang yang pengetahuan agamanya cukup lah. Wakaupun bukan sekelas ulama atau pakar agama, namun paling tidak, masih bisa lah untuk urusan ibadah yang mendasar.  Aneh juga jika yang diajukan malah jauh dari itu semua. Level abangan, cenderung sekuler, susah untuk yakin bahwa mereka paham pengetahuan dasar  agama, apalagi jika baca tulis Quran. Iqro' saja ragu jika sudah lulus.
Apa yang dilakukan dalam percayaan Natal ini sebenarnya bukan barang baru, mengagetkan, atau menjadi pertanyaan, hanya sebuah pengulangan dari apa yang memang menjadi gaya dan lagak koalisi mereka. Ada dua hal yang patut menjadi catatan penting.
Pertama kondisi dan sikap PKS. Bagaimana mereka diam saja, pura-pura tidak melihat apa yang dilakukan capres mereka, baik yang kontra atau pro ucapan Natal. Tidak semata soal ucapan Natal saja, namun juga polemik menjadi imam shalat. Mereka diam seribu bahasa. Tidak memberikan pembelaan ataupun perlindungan atas calon mereka yang terpojok.
Sangat bisa dipahami mereka bersikap demikian karena mereka tidak berani dengan konsekuensi atas DKI-2. Ini menyandera mereka untuk bersikap kritis dan menyuarakan kebenaran dan keyakinan mereka selama ini.
Apa yang dipertontonkan PKS dengan keberadaan dan perilaku capres ini, sebenarnya gambaran jelas bagaimana sikap mereka pada capresnya. Mereka tidak akan berani kritis jika ada perilaku menyimpang dari calon mereka, apapun yang terjadi. Jelas berbahaya. Sikap kristis itu penting.
PKS juga ketakutan karena DKI-2. Nah lagi-lagi fokus adalah kekuasaan. Sikap kritis menjadi hilang karena tersandera kepentingan kursi dan kekuasaan. Padahal ini  kepentingan daerah, bangsa dan negara. Bagaimana jika bangsa dan negara serta daerah itu bisa tersandera kepentingan segelintir elit dan parpol karena keinginan mereka menjadi fokus dan prioritas.
Kedua, adalah sikap  standar ganda atau bahasa sarkasmenya munafik. Di mana hal itu dilakukan biasa saja jika kelompok sendiri dan jika itu adalah rival akan dijadikan gorengan terus menerus. Tidak jarang berlebihan dan tidak berkaitan pun dikait-kaitkan.
Standar ganda ini seolah juga menjadi gaya berpolitik mereka. Kerap kali rekam jejak memberikan gambaran jelas dan bukti, di mana ini adalah pilihan mereka. Pola politik mereka yang sangat biasa menerapkan hal buruk jika dilakukan rival, namun dianggap biasa, bahkan baik-baik saja jika itu perilaku mereka.
Beberapa bukti bisa disebutkan. Pembelaan perilaku kriminal, karena itu menguntungkan mereka, mereka bela mati-matian. Bisa dinyatakan ada kasus Ratna Sarumpaet, kekerasan yang tidak jelas dikaitkan pemerintah, ketika ketahuan langsung meninggalkan RS sendirian. Peristiwa yang identik kasus BS, di mana  guru melakukan kekerasan pada murid pun dibela bahwa pemerintah yang berlebihan.
Kejadian itu hanya contoh, masih begitu banyak dan berderet-deret jika mau disebutkan. Artinya bahwa ini memang gaya berpolitik mereka. Â Termasuk soal Natalan ala capres mereka, entah ini jika dilakukan Jokowi, toh mereka juga sudah mengedit cawapres dengan pakaian identik Natal.
Sinergisitas angggota tubuh merupakan gambaran yang bisa memperlihatkan alur pikir koalisi. Jika ada yang membuat demam, ada pula upaya untuk memperbaiki keadaan. Bagaimana jika koalisi malah memilih membiarkan persoalan menjadi liar? Apa iya mau dipercaya dan diyakini?