Masa Natal masih berlangsung, miris sebelum Natal ada peristiwa di mana ada pemakaman yang salibnya harus dipangkas dengan berbagai-bagai versi  yang pada dasarnya akan menilai diri dan aktivitasnya yang paling baik dan benar. Hal yang seolah akan lebih sering jika tidak disikapi dengan bijak.
Kemudian ada juga grup yang membagikan di mana adanya larangan menyelenggarakan perayaan Natal di tempat terbuka. Perlu dijelaskan adanya perayaan Natal  di tempat terbukan hanya kalau itu oukumene, di mana semua gereja di suatu tempat, kota tertentu mengadakan ibadah bersama. Dan ini juga bukan Misa atau Kebaktian Natal, yang pasti akan dilakukan di dalam gedung gereja masing-masing.
Misa di luar gedung gereja juga hanya ada pada tahbisan sekelas uskup di mana memang umatnya sekelas gubernuran, jadi dulunya di stadion. Maraknya sensitifitas kemarin tahbisan uskup Semarang diadakan di komplek kampus AKPOL.
Seorang perwira polisi menyatakan jika perayaan Natal jangan lah terlalu banyak atribut keagamaan tertentu yang bisa menyinggung kebebasan umat lain. Senada ternyata dengan apa yang dikatakan seolah walikota di Jawa Timur.
Padahal baju, topi, dan asesoris sinterklas itu bukan pakaian Liturgi, pakaian Misa, namun ornamen kemeriahan Natal semata. Malah cenderung bisnis, bukan ekspresi iman. Â Miris jika membaca berita perwira dan walikota masih memiliki pola picik demikian.
Syukur alhamdulilah, puji syukur pada Allah ada ungkapan Gus Mus yang menyatakan kehebatan Nonmuslim di dalam menghadapi imannya daripada Muslim yang mengatakan banyak hambatan dan godaan yang memudarkan imannya. Kurang beragama dan beriman apa coba sekelas Gus Mus, pun masih juga banyak yang akan mencaci, sedang kadar imannya masih sangat rendah.
Sejatinya, adanya toa dengan adzan, lonceng gereja yang memanggil umat ke gereja, ataupun salib untuk nisan, ornamen untuk hiasan rumah, sebatas ekspresi iman, ungkapan cara beriman, dan menampilkan bagaimana iman itu diperlihatkan. Apakah itu memberikan gambaran utuh kualitas iman seseorang? Sama sekali tidak.
Pengalaman sekian puluh tahun, dua pertiga kehidupan itu diwarnai dengan indahnya suara pesantren dan masjid mengumandangkan adzan, atau mengaji saling bersaut-sautan, apa yang saya dengar itu keindahan, pujian pada Sang Pencipta, tidak ada yang buruk.
Memang kadang ada yang membuat kuping panas, ketika isinya hujatan, atau sejenisnya, toh itu bukan yang dominan, sesekali saja. Secara umum jelas lebih menyenangkan, ada keteduhan dan kedamaian yang menghiasai kalbu.
Ada seorang guru pesantren yang merasa salib yang diarak keliling kota itu bisa mengganggu iman murid-muridnya. Apakah iya demikian, jika iya, berarti iman saya sudah habis tak bersisa dong?
Belum lagi jika dekat bulan Ramadan, pesantren dekat rumah akan mengadakan acara, di mana hampir seluruh jalan kampung  jadi parkiran jamaah, sound system, juga jauh lebih keras beberapa kali dari pada biasanya. Mosok hanya dengan demikian, mengganggu iman saya, sama sekali tidak kog.
Dulu, di asrama, berhadapan dengan seorang guru agama Pendidikan Agama Islam sebuah sekolah favorit. Di rumah ia menyewakan kamar untuk kost mahasiswa. Ada dua kejadian cukup aneh sebenarnya, lucu juga.
Pertama, ia memberikan batasan kalau lonceng kapel kami, hanya boleh dibunyikan dua kali setahun, yaitu Natal dan Pekan Suci. Dan itu pun disepakati dan dilakukan dengan semestinya. Apakah ia yang memegang musolah tidak mengumandangkan adzan? Jelas lima kali seharilah.
Kedua, di sekolah ia tidak mau bersalaman dengan guru agama dan guru beragama lain. Tetapi di  rumahnya ia menerima kost anak-anak mahasiswa jurusan teologi Kristen. Pernah saya bercanda dengan mereka, lha katanya gak mau salaman, kog mau menerima, lha uang beda dong ia menjawab.
Tentu artikel ini taka hendak memuji pengalaman sendiri dan menertawakan pihak lain, namun bagaimana bahwa kebebasan masing-masing itu akan bersinggungan dan beririsan dengan yang lain. Tidak ada yang bisa mutlak sepanjang di dunia.
Kebebasan kita akan  bisa sepenuhnya kita peroleh jika kita juga mau menghargai kebebasan orang lain. Mana bisa sih ada dua kebebasan mutlak tanpa mau saling memahami, mengerti, dan memberikan sebagaian kebebasannya untuk juga memperoleh hak yang sama. Jika ngotot-ngototan, maka akan mendapatkan kegagalan bersama.
Sikap menang-menang perlu diperkokoh. Dalam buku Seven Habbits, Coyey mengatakan orang harus menang-menang, bukan menang kalah sehingga akan mendapatkan hasil yang optimal. Orang yang menang memang merasa hebat, namun yang kalah bisa terluka, dan itu potensi balas dendam sangat besar. Pilihan sikap memang-menang, menggambarkan kemanusiaan yang dihargai sangat tinggi.
Hal menang-menang itu sikap batin yang perlu dilatih terus menerus, sehingga menjadi tabiat, yang akhirnya menjadi budaya dan gaya hidup. Otomatis bersikap demikian, tanpa menimbanag untung-rugi. Jika masih memikirkan untung-rugi, berarti masih menang-kalah.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H