Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Toamu Tidak Memengaruhiku, Kuharap Lonceng dan Salibku pun Demikian

27 Desember 2018   19:26 Diperbarui: 27 Desember 2018   19:45 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu, di asrama, berhadapan dengan seorang guru agama Pendidikan Agama Islam sebuah sekolah favorit. Di rumah ia menyewakan kamar untuk kost mahasiswa. Ada dua kejadian cukup aneh sebenarnya, lucu juga.

Pertama, ia memberikan batasan kalau lonceng kapel kami, hanya boleh dibunyikan dua kali setahun, yaitu Natal dan Pekan Suci. Dan itu pun disepakati dan dilakukan dengan semestinya. Apakah ia yang memegang musolah tidak mengumandangkan adzan? Jelas lima kali seharilah.

Kedua, di sekolah ia tidak mau bersalaman dengan guru agama dan guru beragama lain. Tetapi di  rumahnya ia menerima kost anak-anak mahasiswa jurusan teologi Kristen. Pernah saya bercanda dengan mereka, lha katanya gak mau salaman, kog mau menerima, lha uang beda dong ia menjawab.

Tentu artikel ini taka hendak memuji pengalaman sendiri dan menertawakan pihak lain, namun bagaimana bahwa kebebasan masing-masing itu akan bersinggungan dan beririsan dengan yang lain. Tidak ada yang bisa mutlak sepanjang di dunia.

Kebebasan kita akan  bisa sepenuhnya kita peroleh jika kita juga mau menghargai kebebasan orang lain. Mana bisa sih ada dua kebebasan mutlak tanpa mau saling memahami, mengerti, dan memberikan sebagaian kebebasannya untuk juga memperoleh hak yang sama. Jika ngotot-ngototan, maka akan mendapatkan kegagalan bersama.

Sikap menang-menang perlu diperkokoh. Dalam buku Seven Habbits, Coyey mengatakan orang harus menang-menang, bukan menang kalah sehingga akan mendapatkan hasil yang optimal. Orang yang menang memang merasa hebat, namun yang kalah bisa terluka, dan itu potensi balas dendam sangat besar. Pilihan sikap memang-menang, menggambarkan kemanusiaan yang dihargai sangat tinggi.

Hal menang-menang itu sikap batin yang perlu dilatih terus menerus, sehingga menjadi tabiat, yang akhirnya menjadi budaya dan gaya hidup. Otomatis bersikap demikian, tanpa menimbanag untung-rugi. Jika masih memikirkan untung-rugi, berarti masih menang-kalah.

Terima kasih dan salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun