Pilpres dan pemilu 2019 makin dekat, apa yang terjadi masih yang itu-itu saja, belum ada yang baru, program ori yang sangat membuat publik membeliak. Sangat menarik di antara dua kubu ada presiden dan keluarga presiden, kog seolah ada "kekuatan" yang membuat demikian, dua militer AD dalam kubu yang sama. Dan lima sipil dalam satu arah dukungan.
Ada kelurga besar Bung Karno, Pak Habibi, Gus Dur, Bu Mega, dan Pak Jokowi pada satu sisi, berhadapan dengan keluarga Pak Harto dan Pak Beye pada sisi lain. Hal  yang cukup menarik jika melihat fenomena unik ini, dulu tidak serigid ini.
Salah satu capres karena hendak memberikan apresiasi, juga untuk menarik simpati salah satu keluarga besar presiden, jelas juga para pemilihnya, karena juga ketua parpol cukup besar mengatakan jika dulu dalam dua periode atau sepuluh tahun pemerintahan damai karena presiden militer. Apakah cukup sesederhana itu, karena militer kemudian damai?
Masalah kondisi memanas dan cenderung tidak damai ini sebenarnya bukan soal presidennya sipil atau militer, namun karena ada sebagian elit politik yang tidak siap kalah di dalam kontestasi. Apalagi selalu menyatakan, jika dalam kamusnya tidak ada kata kalah. Jelas saja perasaan in membuat pendukungnya selalu mengedepankan sikap yang sama, merasa kekalahannya bukan yang seharusnya, yang mengalahkan itu seolah musuh, tidak ada yang benar di sana.
Beberapa indikasi yang menguatkan hal itu adalah, banyaknya komentar, ciutan yang sangat tidak mendasar namun demi meraup pemilih demi kelompoknya sangat biasa. Dulu hal ini tidak ada.
Apun yang dilakukan presiden atau pemerintah mesti salah. Padahal tidak juga sepenuhnya demikian juga. Adanya kesalahan tentunya perlu kritik, namun tidak kog semua hal salah dan pihak yang berseberangan mesti benar.
Lucu lagi, pembelaan bak babi buta, bagi pelaku kejahatan dan kriminal, kalau mereka juga melakukan kritik atau nyinyiran bagi pemerintah. Hal yang sangat aneh dan lucu jika demikian. Bagaimana bisa tenang dan damai, karena semua hal  dijadikan polemik, dan pro-kontra.
Pilihan politis presiden kala itu, jargon satu lawan terlalu banyak, seribu kawan sedikit, sering membuat pemerintah saat itu tidak mengatasi masalah. kompromis, dan cenderung membiarkan, sehingga tidak ada gejolak pro dan kontra yang berlebihan. Contoh pembubaran HTI, pembiaraan ujaran kebencian dan makian serta fitnah sekalipun. Hal yang jelas tidak akan ada gejolak.
Kali ini, pilihan yang memang sangat sulit harus dipilih, risiko bahwa akan banyak gejolak perlu diambil. Sikap meradang bagi pihak-pihak yang dihambat kesukaaan, harapan yang dipungksi, sangat wajar adanya gejolak. Namun hal yang cukup wajar jika hendak mau tertob bukan dalam ranah yang semu, ramai demi kebaikan tentunya bukan hal yang buruk sejatinya. Sama halnya dengan berpeluh dalam latihan demi prestasi. Bersakit-sakit dahulu, berakit-rakit kemudian. Ini risiko.
Tentu wajar jika ada anggapan ah, jangan-jangan ini tidak tenang karena gawe militer. Mengapa demikian? Ini bukan soal tegas atau tidak pemimpinnya. Semua paham Soeharto  memang tegas, bahkan maaf beringas, bengis pula kadang. Mana ada tegas-tegasnya SBY dengan pembiaran demi pembiaran.  Tentu berlebihan jika mengatakan pembuat ketidakdamaian itu militer. Sangat tidak sepakat. Militer tidak demikian.
Lha mana kaitan militer atau sipil sebagai pemimpin yang membuat damai, ketika presiden sipil setahun sudah memakai jaket tiap pasukan elit dari semua angkatan. Padahal presiden militer perlu sembilan tahun untuk bisa mengenakannya. Salah satu fakta yang memperlemah pernyataan dalam judul tentunya.
Militer faksi tertentu yang merasa susah mendapatkan akses ala lama yang meradang. Ini sangat mungkin. Pilihan-pilihan baru sangat radikal ditempuh. Bagaimana suap-menyuap mulai dihentikan, ini juga membuat banyak pihak meradang, yang biasa mengurus kenaikan pangkat atau seleksi dengan uang. Â Cukup berat apa yang perlu disangga oleh banyak pihak yang selama ini terbiasa tidak mau kerja keras dan mengandalkan koneksi dan suap menyuap.
Beberapa pilihan lain, seperti penegakan Pancasila sebagaimana mestinya, membuat kelompok yang selama ini mendapatkan angin, meradang. Salah satunya jelas HTI. Bagaimana mereka selama ini leluasa melakukan apa saja, masuk ke semua lini baik pemerintahan, birokrasi, dan tentu militer, ketika angin surga itu dihentikan, mereka melakukan banyak hal untuk kembali merebut panggung mimpi mereka.
Pun dalam hal dunia usaha, di mana banyak dilakukan perbaikan dan meluruskan ini dan itu, seperti soal pengampunan pajak, penyederhanaan birokrasi berbelit sebagaimana selama ini, pameo kalau bisa dibuat susah, mengapa dipermudah, dan itu berkaitan dengan uang dan kolusi, tentu mereka-mereka ini akan mengadakan aksi dan reaksi yang menimbulkan banyak hal untuk memperkeruh suasana. Di sana potensi keriuhan tentu akan timbul.
Apa yang terjadi, antara keadaan tenang, damai, dan kondusif itu bukan soal militer atau sipil sebagai pemimpin, namun siapa yang bermain dalam keadaan yang ada, jauh lebih faktual. Sering atas nama demokrasi dan agama bisa bicara apa saja, namun tidak siap kalah dan kondisi tidak mudah, padahal itu adalah menyangkal salah satu esensi agama dan demokrasi.
Terima kasih dan salam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H