Mohon tunggu...
Susy Haryawan
Susy Haryawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - biasa saja htttps://susyharyawan.com eLwine

bukan siapa-siapa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mau Mengerti atau Memprovokasi, Faktor Pembeda Kisah Salib Terpotong

19 Desember 2018   09:45 Diperbarui: 19 Desember 2018   14:08 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya hanya tertawa ketika ada rekan dalam WAG, yang membagikan informasi salib terpotong. Rekan ini Muslim dan mengekspresikan kekecewaan, bahkan marah, dan meminta rekannya Nonmuslim untuk tetap kepala dingin. Rekan lain menjawab jangan khawatir kalau model beginian.

Kisah yang mirip, namun jauh berbeda dalam fakta, bapak saya yang hidup di tengah masyarakat Muslim menghendaki pemakaman di desa kami sendiri. Pilihan lain ada, di tanah kelahiran beliau tidak masalah, namun malah menghendaki dekat dengan mertuanya. Pilihan yang tidak  mudah karena pernah terjadi kejadian yang tidak mengenakan berkaitan dengan nisan salib.

Semua bisa terselesaikan, usai tiga tahun kemudian bapak benar meninggal. Syarat dari masyarakat adalah tidak ada nisan salib. Selengkapnya https://www.kompasiana.com/paulodenoven/59983402b157d35631675b02/maaf-makamnya-masyarakat-menghendaki-tanpa-salib.

Semalam hanya menyimak saja dan berbagi diskusi untuk hanya sekadar, eh pagi ini rekan lain membagikan kisah ini lagi. Jadi ingat bahwa hal ini penting untuk bekajar bersama.

Beberapa waktu lalu, ketika Misa, Rm. Sing mengatakan, kita sebagai paman, om, bibi, tante, harus memahami jika ada keponakan marah, memaksakan kehendak, karena memang mereka masih kanak-kanak, perlu dimengerti. Berkaitan dengan sekelompok orang yang suka memaksakan kehendak untuk orang lain untuk ini dan itu, dilarang itu dan ini. Perilaku mereka  padahal tidak jarang jauh lebih parah. Sebagai pihak yang dewasa, perlu bijaksana. Tentu ini bukan soal agama, namun perilaku hidup beragama.

Provokasi atau Mengerti

Jelas iman Kekristenan tidak mengenal adanya pembalasan, menyerang, mengadakan aksi ini dan itu. Agama dan iman yang dewasa, ingat ini soal perilaku, jangan sensi, apalagi jika menghadapi keadaan yang masih simpang siur. Masih banyak hal yang sepenggal-sepenggal. Membagikan pun perlu bijak apakah menambah masalah atau tidak.

Provokasi sangat gampang, apalagi di musim politik seperti ini. Ini yang  perlu kedewasaan sikap dan batin semua orang beragama. Jangan mudah terpancing hal remeh yang bisa dimanfaatkan kepentingan busuk yang lebih besar.

Mengalah Bukan  Berarti Kalah

Susah ketika bangsa masih berkutat pokoknya, yang banyak menentukan arah. Hal yang dulunya tidak pernah ada kotak-kotak seperti ini, entah mengapa sekarang mulai marak dan akan semakin parah. Lihat saja pilkada DKI dengan ugal-ugalannya mempecundangi agama demi segelintir politikus kacangan.

Mengalah itu bukan berarti kalah dan mau menjadi kalah-kalahan. Itu prinsip. Salib di makam itu bukan prinsip, namun bagaimana hidup bersama sebagai negara Pancasila ternyata sangat jauh dari nilai luhur Pancasila. Sebagai orang beriman itu tidak masalah, namun sebagai anak bangsa Pancasila, itu diskriminasi amat parah.

Eh pas menuliskan artikel ini, ada di bus orang menolak duduk karena sampingnya orang Kristen. Ini mau dibawa ke mana hidup bersama bangsa ini coba? Mati jadi kotak-kotak, hidup pun begitu.

Jangan Memilih Tidak Mau Mencubit namun Suka Mencubit

Sebenarnya sederhana kog, ketika orang bersuka ria dengan dikotomi, pemisahan, dan menilai liyan, coba dikembalikan, jika aku yang demikian, mengalami hal itu, atau aku pada posisi seperti itu, aku bagaimana. Ini menjadi penting, sehingga orang tidak akan jatuh pada kejadian memaksakan kehendak. Toleransi, empati, dan hidup bersama akan jauh lebih adem.

Mengapa bangsa ini seolah suka kotak-kotak, jika itu sejak dulu memang khas bangsa ini sih ya sangat wajar. Dulu tidak ada kog yang demikian, dulu biasa saja. Tidak ada masalah mau bajumu hijau aku kuning berjalan bersama, mengapa sekarang begitu mudahnya dibakar dan dihasut?

Jadilah diri sendiri dengan jati diri bangsa. Jangan malah menjadikan kultur lain sebagai rujukan dan ternyata di tempat asalnya malah jauh lebih baik dan berbeda dengan yang berkembang di sini. Entah karena mental lemah yang mudah dikelabuhi atau memang karakter tempe yang tidak bisa melihat yang baik.

Apanya sih yang buruk dalam agama itu? Tidak ada. Perilaku elit beragama yang busuk sejatinya. Lihat siapa mereka? Yang gaya hidup mewah. Menunjung gaya hidupnya dengan menaburkan kebencian, pemisahan, kontorversi dan model memilahkan aku dan kamu dengan jurang yang dalam. Ingat ini  bukan bicara agama atau tokoh tertentu juga bukan soal kekayaan. Gaya mewah yang tidak sejalan dengan prinsip beragama siapapun mereka.

Kekayaan dan harta bagi pemimpin agama itu juga perlu. Ingat kaya dan ewah beda. Bagaimana gaya mewah dipenuhi itu bisa jatuh pada mabuk agama dan menjual agama.

Fanatik dalam beragama itu harus, namun ke dalam bukan memaksakan kehendak pada yang lain. Sikap fanatis itu juga penting agar tidak mudah goyah.  Jika demikian, tidak akan ada kecurigaan, kekhawatiran, dan kecemasan bahwa pihak lain akan menjadikannya ikut agama mereka.

Kristenisasi atau Islamisasi itu kerja abad pertengahan, lucu saja ketika abad dua puluh lebih masih berkutat demikian. Hidup itu  maju bukan mundur. Bagaimana pegangan android namun otak masih saja siput.

Terima kasih dan salam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun