Salah satu penyakit akut bangsa ini adalah korupsi. Susah mengatakan orang Indonesia tanpa korupsi. Seolah menjadi karakter yang mengerak. Bagaimana tidak miris, ketika ketangkap KPK sedang transaksi kejahatan dinyatakan sebagai apes. Atau uang korupsi adalah rezeki dari Tuhan yang tidak boleh ditolak. Ini entah keblinger atau memang tidak ada lagi otak dan nurani.
Seorang pimpinan lembaga tinggi negara lebih gila lagi, ketika membela kader mereka yang tertangkap KPK kasus suap menyuap antara kepala daerah dengan dewan daerah ia nyatakan sebagai karena gajinya kecil. Karena gaji kecil, wajar melakukan korupsi, entah mukanya dari apa sehingga tidak malu bahkan dengan pedenya mengajukan diri menjadi salah seorang kandidat RI-1 atau RI-2, untung tidak laku.
Habibat yang demikian subur, mau apapun dilakukan tetap saja akan mentok. Kehendak baik kurang ditunjang pola pikir yang sama di seluruh lapisan masyarakat di dalam memandang perilaku korup. Ada lagi dalih budaya uang terima kasih itu biasa, dan akhirnya juga masuk bui karena adanya paksaan besaran untuk uang terima kasih itu.
Dewan penyetor paling besar kegilaan dalam korupsi, bagaimana absensi penuh namun kursi di ruang sidang kosong, itu bertahun-tahun malah semakin parah. Namun dari sana malah ada pernyataan lebih gila, ketika pimpinan meminta dimaklumi kinerja buruk mereka. Perlu cermin besar karena ruangnya malah layar lebar hanya untuk main media sosial sepanjang waktu. Memalukan, bukan hanya gagal.
Pimpinan lain menuntut pembubaran KPK dengan segala dalihnya. Padahal memperbaiki kinerja rekannya di parlemen saja sama amburadulnya dengan lalu lintas di jalan raya bangsa ini. Saling serobot, saling merasa paling benar, dan seenaknya sendiri.
Penegakan hukum juga tidak jelasnya. Bagaimana KPK bekerja keras namun dalam persidangan hukuman bisa dipancung dengan kekuasaan peradilan yang mutlak dan independen. Terbaru, MA memberikan potongan bagi hukuman  perilaku korup oleh Gubernur Nur Alam.  Bagaimana ada efek jera jika demikian.
Berkaitan dengan efek jera. Peradilan juga sedang melakukan sidang bagi para pelaku suap oleh terpidana korupsi kepada kepala lembaga pemasyarakatan. Bagaimana satu demi satu kebobrokan LP diungkapkan.
Bagaimana bisa di dalam LP ada bangunan saung atas pembeayaan para napi di sana. Jika mereka yang membangun, jangan kaget mereka pun bisa "membeli" Â petugas di sana. Semua bangunan itu harusnya negara yang membangun. Jika demikian, fasilitas negara, sehingga warga binaan tidak bisa menyandera petugas.
Bangunan itu masih belum seberapa, ternyata ada jual beli surat izin, dan pura-pura sakit itu pun bisa ke mana-mana. Mirisnya adalah ke hotel dengan artis muda, bukan pasangan sahnya. Ada lagi pelanggaran hukum, perzinahan yang terjadi di sana. Ini serius bukan main-main.
Ternyata ada bisnis esek-esek, ketika salah satu napi berinisiatif membangun kamar bercinta yang awalnya buat dia sendiri dan pasangan, yang kemudian disewakan bagi pasangan lain. lagi-lagi pelanggaran, di mana bilik ini belum ada secara resmi. Salah satu hukuman adalah warga binaan memang terpangkas kebebasannya, termasuk salah satu kebutuhan mendasar pasangan yang sudah berkeluarga. Lagi-lagi pelanggaran.
Para pelaku ternyata semuanya para nara pidana korupsi. Mengapa mereka masih begitu digdaya? Karena mereka masih bisa membeli semua hal dengan hasil malingan mereka. Main perempuan yang bukan pasangan, bahkan kalangan artis, di hotel berbintang, surat izin keluar untuk berobat. Semua itu jelas uang dan uang untuk bisa melakukannya.
Membangun ruangan khusus memangnya menggunakan jasa Bandung Bondowosa, sehingga hanya semalam usai sehingga petugas hingga kalapas tidak melihat. Hanya karena matanya tertutup uang semata.  Mengapa semua diam? Ya karena sudah kenyang suapan itu.
Hal yang selalu terulang, jual beli kamar dan fasilitas, tidak pernah diselesaikan dengan menyeluruh, ingat bagaimana hebohnya dulu ketika ada sidak ala Deni Indrayana. Atau adanya produksi sabu ala almarhum Freddy Budiman dkk. Penyelesaian masalah yang tidak pernah dilakukan.
Kasus Supersemar yang berjalan dua dasawarsa pun setali tiga uang. Â Salah satu aset mereka, gedung Granadi, sejak November 2016 telah ada ketetapan hukum tetap, toh hingga hari ini tetap saja masih dipakai aktivitas seolah tidak ada masalah. Mengapa terjadi? Penegakan hukum yang lemah.
Lagi dan lagi, penegak hukum tidak berdaya karena uang dan kuatnya orang di belakangnya. Puluhan tahun yang merusak dengan terstruktur dan sistematis membuat banyak birokrasi telah dirancang untuk mengamankan kepentingan kroni terutama bisnis anak keturunan orang kuat ini.
Salah satu yang lain dan itu jauh lebih besar adalah soal simpanan di Bank Swiss. Dugaan pencucian uang dan hasil korupsi susah dipatahkan jika berbicara mengenai simpanan dan Bank Swiss. Para pelaku kejahatan ini tetap saja masih kaya, banyak jaringan dan rekan, dan tidak segan-segan untuk menyuap dan menutup akses pemerintah untuk sampai pada simpanan mereka.
Syukurlah bahwa ternyata Swiss mengadakan perubahan yang cukup signifikan, mereka mau berbagi data penyimpan dana di negaranya. Tahun 2019 akan menjadi momentum bagi fakta yang selama ini masih sebatas hitam di atas putih.
Keberanian dari presiden dengan elit kabinet saja tidak cukup. Mereka telah bekerja relatif pada rel yang jelas dan baik, hanya di jajaran lebih bawah masih kacau balau. Kerusakan cara kerja aparat masih pola lama yang sekian puluh tahun tidak pernah diperbaiki.
Reaksi yang malu karena merasa tidak berbuat apa-apa malah membuat serangan untuk  memperlemah pemerintah dengan berbagai cara dan upaya. Jelas serangan itu  makin kuat karena pretasi yang ditunjukkan oleh pemerintah yang bekerja keras.
Pemerintah terutama presiden telah melakukan banyak hal, namun tentu tidak mudah karena kepentingan politis yang masih kental dengan kubangan korupsi dan pola lama yang begitu-begitu saja. Hal ini jelas perlu banyak waktu untuk itu.
Serangan balik dari para koruptor dan banyak pihak yang merasa terganggu kepentingannya tentu akan makin kuat dengan adanya gerak cepat dan langkah tegas penegak hukum. Segala cara dan sarana akan digunakan untuk memperlemah pemerintahan.
Presiden bersama menteri-menteri berprestasi telah memberikan bukti yang tidak sekadar janji. Namun itu bisa menjadi bahan bagi pihak yang terusik. Berbagai isu selama ini jelas bermuara dari para pelaku korupsi yang masih kaya itu.
Perlu penegakan hukum yang sangat menyeluruh, sehingga para pelaku korupsi tidak berdaya lagi untuk kembali mengulangi perilaku korupsi atau menyuap lagi di kemudian hari demi memperoleh keuntungan pribadi. Terlalu lemah hukum dan pemasyarakatan atas nama HAM. Selama ini kacau antara HAM dan hukuman. Malah membuat efek jera tidak ada.
Pemiskinan dan pembuktian terbalik mana pernah bisa, sedangkan pelaku korupsi itu juga ikut terlibat di dalam membuat UU dan tidak sedikit juga pembuat UU itu sendiri. Susah berharap jauh lebih baik karena memang sudah menjadi watak, bahkan korupsi sudah direncanakan jauh-jauh hari dengan peraturan yang menguntungkan mereka.
Apa iya jalan terang ini mau dikembalikan ke era kegelapan korupsi karena adanya pihak yang mau menghidupkan Orde Baru yang jatuh karena KKN itu? Â Korupsi itu masalah akut, mau disembuhkan eh malah mau dihentikan di tengah jalan.
Kehendak baik dan program yang  jelas tidak ada dari koalisi 02 karena di sana banyak para pembela masa lalu yang membuat dasar korupsi merajalela.  Mereka seolah merasa benar lagi, sehingga jauh lebih menakutkan.
Komitmen Jokowi untuk bersih, juga perlu menjadi komitmen bersama partai pengusungnya. Wajar jika banyak yang ditangkap karena memang mau bebersih, bukan menyembunyikannya.
Terima kasih dan salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H